KUNINGAN (MASS) – Guru yang paling baik adalah pengalaman. Istilah tersebut sering saya dengar dari seorang guru sejarah yang merupakan guru paporitku ketika masih duduk di SMAN 2 Kuningan, dan sampai saat ini istilah tersebut masih terngiang di telinga. Diantara rangkaian pengalaman yang dilalui setiap individu, lembaga atau organisasi, bahkan negara ada yang disebut sebagai sejarah.
Sejarah adalah ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan kenyataan (Muh Yamin). Sejarah semestinya menggambarkan suatu kejujuran atau tentang sesuatu apa adanya, baik itu menyangkut tentang apa, siapa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa.
Setiap individu, kelompok atau organisasi sampai bangsa dan negara mempunyai sejarahnya masing-masing. Banyak data dan fakta produk sejarah yang masih hidup menjadi dasar, patokan atau regulasi kehidupan manusia sampai saat ini, bahkan untuk kehidupan yang akan datang. Dan ada juga data dan fakta sejarah yang hanya menjadi deretan kenangan dan berhenti parkir ditumpukan penyimpanan arsip.
Dewasa ini semua elemen bangsa sedang ramai membicarakan salah satu produk sejarah yang selama Negara Kesatuan Republik Indonesia Ini ada (NKRI), akan tetap ada menjadi pandangan hidup, baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat bahkan sampai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Produk sejarah tersebut kita kenal dengan sebutan “Pancasila”.
Sejarah mencatat, dan tak seorangpun dapat menyangkalnya, bahwa rumusan Pancasila yang sah dan benar yang sekarang kita jadikan sebagai dasar dan ideologi NKRI adalah sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi negara kita, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tepatnya tercantum pada alinea keempat yang berbunyi, “……..yang berkedaulatan rakyat dengan beredasar kepada ; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Terhadap dokumen negara yang maha penting tersebut, kita semua sebagai warga negara yang baik harus menerima dan melaksanakannya secara ikhlas dan penuh tanggung jawab. Rumusan Pancasila tersebut sudah final sebagaimana telah diputuskan dalam persidangan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Semua elemen bangsa yang terhimpun dalam lembaga PPKI telah sepakat bahwa Pancasila yang sah dan benar adalah yang dirumuskan dalam Konstitusi tersebut, bukan rumusan Pancasila yang disampaikan M. Yamin, Soepomo ataupun yang disampaikan oleh Bapak proklamator kita yaitu Yang Terhormat dan Yang sama-sama kita kagumi dan kita banggakan Bapak Ir. Soekarno, dan juga bukan rumusan Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta.
Terhadap rumusan Pancasila yang disampaikan oleh M. Yamin pada waktu rapat/sidang PPKI pada tanggal 29 Mei 1945 (yang disampaikan lisan; Peri kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri ketuhanan, Peri kerakyatan, Kesejahteraan rakyat. Yang disampaikan tertulis; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Persatuan Indonesia, Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia), rumusan Pancasila yang disampaikan oleh Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 (Persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, Keadilan rakyat), dan rumusan Pancasila yang disampaikan oleh Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 (Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan yang Maha Esa) kita harus tetap mengakuinya sebagai data/fakta sejarah, akan tetapi siapapun orang dan lembaganya, jangan sampai memaksakan kehendak untuk menjadikan nilai-nilai yang mereka sampaikan “mendistorsi” ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Dasar dan idiologi Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final yaitu Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-empat.
Berbicara idiologi negara tidak bisa kita mengkultuskan individu. Pancasila sebagai ideologi negara, bukanlah produk perorangan, akan tetapi merupakan buah pikir dari seluruh elemen bangsa yang dikristalisasikan dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang telah lama ada dan hidup dalam kehidupan bangsa dan negara kita.
Sekarang saatnya kita banyak belajar dari sejarah. Rangkaian peristiwa sejarah yang dialami negara kita sejak jaman sebelum kemerdekaaan diraih, pasca kemerdekaan tahun 1945, dan sampai hari ini telah banyak memberikan pelajaran yang sangat berharga.
Rongrongan terhadap keberadaan ideologi Pancasila seperti peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1948 yang dipimpin oleh Muso dan peristiwa G/30/S/PKI yang dipimpin oleh Aidit adalah fakta sejarah yang sekaligus merupakan cobaan terhadap kekukuhan bangsa ini dalam mempertahankan idiologinya yaitu Pancasila. Dapat difahami bersama bahwa kedua gerakan tersebut nyata-nyata merupakan sebuah upaya yang terang-terangan ingin menggantikan idiologi Pancasila dengan idiologi Komunis.
Kedua peristiwa bersejarah sebagaimana diuraikan diatas mengandung suatu pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh bangsa Indonesia, yaitu bahwa keberadaan indiologi komunis di Indonesia merupakan bahaya laten yang harus selamanya diwaspadai. Karena disamping idiologi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, juga karena idiologi tersebut telah terang-terangan manampakan niat radikalalnya untuk mengambil alih posisi idiologi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini.
Penulis sangat meyakini bahwa negara yang dikelola dengan tetap bercermin dari “pelajaran” sejarah, dipastikan tidak akan mengalami jatuh kelobang yang sama. Dan dapat dipastikan bahwa celakalah bagi siapa saja yang berupaya untuk melupakan sejarah atau tidak mau belajar dari sejarah yang data faktanya telah teruji kebenarannya.
Negara yang besar adalah negara yang selalu menghargai jasa-jasa para pendahulunya yang telah terukir indah melalui tinta-tinta sejarah. NKRI harga mati, Pancasila abadi. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.
Penulis: Toto Dianto (Akademisi Kuningan)