KUNINGAN (MASS) – Ketua KPU Kuningan Asep Z. Fauzi mengaku sangat prihatin atas mencuatnya aroma disharmoni antara Bupati dengan Wakil Bupati Kuningan.
Meski mengaku tidak tahu persis pangkal masalahnya dimana, dirinya berharap aroma tidak sedap ini hanya kabar burung.
Namun jika kondisi ini benar-benar nyata dia menyarankan untuk segera dibenahi agar tidak berlarut-larut.
“Belakangan ada kabar cukup heat di Kabupaten Kuningan. Saya baca dari media massa, katanya pak Bupati sama pak Wabup sedang kurang harmonis. Kurang tahu sih kabar ini benar atau tidak, mudah-mudahan saja tidak benar. Tapi secara pribadi saya berharap situasinya tidak sedramatis seperti yang digunjingkan banyak kalangan,” kata Asep kepada wartawan, Rabu (17/3/2021).
Dia menuturkan, fenomena disharmoni antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah banyak terjadi di berbagai daerah.
Tahun 2011 silam, Dirjen Otda Kemendagri bahkan pernah merilis sebanyak 91 persen kepala daerah tidak akur dengan wakilnya.
Tentu saja hal ini memantik rasa prihatin yang mendalam, sebab sedikit banyaknya akan menimbulkan persoalan. Terlebih jika hal ini terjadi di tengah perjuangan melawan Pandemi Covid-19.
Asep mengungkapkan, pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kuningan tidak lahir lewat atraksi sulap atau lewat undian lotre.
Mereka berdua terpilih melalui proses Pilkada tahun 2018 yang sangat dramatis. Agar Pilkada saat itu berlangsung aman, damai dan berkualitas dibutuhkan kerja keras dan jerih payah luar biasa dari semua komponen masyarakat.
Dalam Pilkada 2018, ada cucuran keringat ratusan ribu pemilih, puluhan ribu penyelenggara dan tenaga keamanan, hingga puluhan ribu kader partai dan tim pemenangan serta elemen masyarakat lainya.
Mereka berjuang di tengah cucuran peluh, melawan lelah, bekerja lillah, keluar dari zona nyaman, bergumul di tengah kontestasi dan kompetisi yang sangat ketat.
Harapan mereka sama dan seragam, yaitu lahirnya pemimpin daerah yang amanah dan memiliki integritas.
“Jangan lupa, biaya Pilkada juga sangat mahal, mencapai puluhan milyar rupiah. Biaya besar itu bersumber dari APBD yang notabene milik rakyat,” sebutnya.
Jika pemimpin yang dihasilkan dari Pilkada gagal mewujudkan harapan rakyat, ia khawatir akan menjadi preseden buruk bagi kelangsungan sistem demokrasi, khususnya di Kabupaten Kuningan.
Asfa mengingatkan Pilkada dan Pemilu akan menjadi siklus lima tahunan dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat.
Harapannya agar siklus lima tahunan tersebut dapat menunjukkan peningkatan kualitas, tidak hanya dari prosesnya namun juga dari pemimpin yang dihasilkanya.
Bagi pemilih rasional, Pilkada ataupun Pemilu akan sangat strategis untuk dijadikan moment evaluasi dan pemberian reward atau funishment.
“Baik Pilkada maupun Pemilu biasanya dijadikan ruang evaluasi. Pemilih akan memberikan reward kepada elit politik yang amanah dengan memilihnya,” sebut Asfa.
Sebaliknya, pemiliih akan memberikan funishment kepada elit politik yang tidak amanah dengan tidak memilihnya.
Segera benahi, jangan sampai rakyat menjauh dari realitas demokrasi. Karena itu, jika masih ingin mendapat kepercayaan dari rakyat ayo tunjukkan kesan positif, bekerja sesuai visi dan missi, dan jangan khianati kedaulatan rakyat.(agus)