KUNINGAN (Mass) – Sebagai agenda penting yang telah direncanakan dalam rangka memperingati Dies Natalis Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan (STIKKU) ke 10 pada 22 Desember 2016 lalu, akhirnya acara Orasi Ilmiah dengan menghadirkan narasumber istri Gubernur Jawa Barat Dr Hj Netty Prasetiyani MSi digelar.
Acara yang dipusatkan di GOR Ewangga Kuningan akhir pekan kemarin itu, Senin (16/1), dihadiri pula Bupati H Acep Purnama SH MH, Ketua Tim Penggerak PKK Hj Ika Acep Purnama SSos, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan Dr H Dian Rachmat Yanuar MSi, Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Husada Kuningan Prof Dr Hj Dewi Laelatul Badriah MKes AIFO serta undangan lainnya.
Bupati Kuningan H Acep Purnama SH MH dalam sambutannya mengatakan, mahasiswa merupakan ujung tombak pendidikan dan harus bisa mengabdikan diri kepada lingkungan masyarakat. Karena itu, fenomena tentang kekerasan terhadap anak yang ada di sekitar lingkungan masyarakat harus sedini mungkin dicegah bersama-sama.
“Saya berharap kekerasan terhadap anak jangan sampai terjadi di Kabupaten Kuningan. Jadi, kita harus bisa pertahankan sebagai kabupaten layak anak, mari kepada semua lapisan masyarakat cegah kekerasan terhadap anak dan keluarga mulai dari sekarang,” pintanya.
Ketua STIKKU Asep Sufyan Ramadhy SKed menuturkan, kegiatan Orasi Ilmiah dengan jumlah peserta sekitar 1.300 orang mengangkat tema Peran Masyarakat dalam Penanggulangan Kekerasan Anak dan Perempuan, dilatarbelakangi adanya kecenderungan peningkatan prevalenai kasus-kasus kekerasan yang terjadi baik pada anak maupun perempuan di Kabupaten Kuningan khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.
“Modusnya makin memprihatinkan dan dalam banyak kasus masyarakat yang ada di sekitarnya cenderung tak acuh alias tak peduli karena mungkin khawatir dianggap mencampuri urusan orang lain atau rumah tangga orang lain,” ujarnya.
Di sisi lain kata Asep, saat ini Indonesia sudah memiliki perangkat hukum dalam penanganan kasus tersebut, yakni UU Pencegahan KDRT dan UU Perlindungan Anak. Namun pada kenyataannya hingga sekarang masih sangat banyak masyarakat di lapisan paling bawah yang tidak mengetahui dan memahami esensi kedua UU tersebut. Apalagi menurutnya, kasus kekerasan anak dan KDRT ini termasuk ke dalam delik aduan, sehingga membutuhkan peran aktif korban dan para saksi yang menyaksikannya.
Kemudian lanjut Asep, alasan selanjutnya pada tahun 2016 lalu Kabupaten Kuningan telah menerima penghargaan sebagai Kabupaten Layak Anak. Dengan begitu, STIKKU berkeinginan untuk berkontribusi sekecil apapun potensi yang dimiliki untuk menguatkan implementasi kabupaten layak anak tersebut. Paling tidak, terdapat 23 indikator kabupaten layak anak jika didasarkan pada Permen PP-PA nomor 12/2011.
“Apakah di Kuningan sudah terpenuhi ke 23 indikator tersebut? Nah kita ingin kawal dan evaluasi. Contoh kecil adalah apakah di tempat-tempat pelayanan umum, misalnya di lingkungan Pemda sendiri, di lingkungan sekolah, di pusat perbelanjaan modern sudah ada atau belum ruang khusus menyusui. Ini adalah salah satu indikator kabupaten layak anak dari klaster kesehatan. Contoh lagi ketersediaan fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak di luar sekolah dan dapat diakses oleh semua anak. Nah di kuningan ini seberapa memadai kuantitas dan kualitasnya,” bebernya.
Menurutnya, konseling ini dapat digunakan sebagai media pendidikan dan peningkatan keterampilan lifeskills calon pengantin untuk mempersiapkan pembentukan keluarga di masa depan dalam berbagai aspek, diantaranta aspek psikologis, ekonomi, sosial budaya dan kesehatan reproduksi. Diharapkan, melalui pelaksanaan konseling ini akan lahir calon-calon orang tua yang cerdas untuk melahirkan dan mendidik generasi penerus.
“Inilah salah satu upaya strategis memutus rantai kekerasan pada anak dan perempuan,” tandasnya.
Sementara itu, Istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yakni Dr Hj Netty Heryawan MSi menjelaskan, akar permasalahan terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan adalah keluarga. Selain itu, menurutnya salah satu masalah utama yang sedang ditanganinya berupa masih tingginya kejadian pernikahan di bawah umur atau usia muda.
“Disinilah awal mulanya berbagai konflik dan disharmoni keluarga itu muncul yang berujung pada kekerasan. Termasuk rendahnya pemahaman orang tua tentang kesehatan reproduksi yang sangat rawan memicu banyaknya kasus kehamilan tak diharapkan, pernikahan dini terpaksa, dan lain sebagainya,” pungkasnya. (andri)