KUNINGAN (MASS) – Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.Korbannya tidak hanya dari kalangan dewasa, tetapi juga remaja, anak-anak, dan balita. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas tapi juga kualitas. Dan lebih miris lagi, pelakunya kebanyakan dari lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar anak itu berada. Kasus semacam ini masih menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan kebanyakan anak yang menjadi korban enggan melapor.
Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur di daerah Kuningan. Korbannya dua anak kakak beradik, sedangkan pelakunya adalah seorang kakek berinisial AZ (65) yang merupakan tetangga korban. Kasus ini sebenarnya terjadi pada bulan November 2020 lalu, namun baru ketahuan bulan Januari 2021.(Tribun Cirebon. Com, 18/7/2021).
Lebih parah lagi, sebagaimana yang dituturkan oleh ibu Any Saptarini, Ketua Harian P2TP2A bahwa tidak ada anggaran untuk penanganan kasus anak untuk tahun 2021. Padahal kasus kekerasan seksual terhadap anak di kuningan semakin meningkat, serta belum ada tenaga ahli untuk penanganan psikologis dan rehabilitasi sosial.(Mimbar-Rakyat.com, 16/2/2021).
Banyak dampak berbahaya yang ditimbulkan dari kekerasan seksual pada anak, diantaranya dapat berpengaruh pada psikologis, fisik, dan sosialnya. Anak menjadi pribadi yang tertutup, tidak percaya diri, timbul perasaan bersalah, stres, bahkan depresi serta timbul ketakutan atau fobia tertentu. Apalagi untuk kasus sodomi, besar kemungkinan korban suatu saat akan menjadi pelaku.
Sementara itu berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, namun kasus kekerasan seksual ini tidak juga tuntas, bahkan terus meningkat. Sedangkan hukum yang ada belum cukup menjamin dan melindungi anak dari predator seks. Oleh karena itu, kita perlu menemukan apa akar permasalahannya dan bagaimana Islam mampu melindungi anak dari kekerasan seksual.
Apabila ditelaah secara mendalam, akar penyebab semakin maraknya kekerasan seksual terhadap anak adalah karena diterapkannya sistem kapitalis sekuler dan turunannya, seperti liberalisme. Sistem ini memang tidak akan pernah memberikan rasa aman bagi anak, bahkan kejahatan seksual terhadap anak jauh lebih sadis dan membuat miris.
Anak di bawah sistem kapitalis memang rentan menjadi obyek eksploitasi secara ekonomi, dimana anak dipaksa untuk bekerja, ada yang jadi pengemis, pengamen, serta tidak sedikit perusahaan yang mempekerjakan anak-anak. Apalagi di masa pandemi sekarang ini, jumlah pekerja anak meningkat karena mereka harus membantu perekonomian keluarga yang semakin terpuruk.
Selain itu anak – anak juga rentan dijadikan obyek eksploitasi seksual demi keuntungan baik karena terpaksa maupun karena adanya pengaruh dari orang dewasa. Ada tiga kegiatan yang terkategori eksploitasi seksual yaitu prostitusi anak, perdagangan anak, dan pornografi anak. Kapitalisme telah merenggut hak-hak anak, bahkan gagalnya solusi yang dibuat selama ini oleh berbagai pihak pun tidak lepas dari ideologi tersebut.
Sekulerisme yang memisahkan peran agama dari kehidupan akan menjadikan ketaqwaan individu semakin tergerus. Orang-orang yang lemah imannya merasa dirinya boleh melampiaskan nafsunya kepada siapa pun. Di sisi lain dorongan seksual terus menerus dimunculkan di berbagai ruang masyarakat. Libéralisme melegalkan berbagai komoditas seksual, baik pornografi maupun pornoaksi.
Sementara itu berbagai kalangan menilai bahwa pemerintah belum mempunyai kepedulian yang serius terhadap permasalahan ini. Pemerintah seakan tak punya gigi umtuk menjerat para pelakunya, kalaupun ada sanksi, namun tidak pernah membuat efek jera. Adapun Islam yang memiliki aturan yang jelas dalam menuntaskan masalah ini diabaikan dengan berbagai alasan.
Islam diturunkan oleh Allah dengan seperangkat aturan hidup bagi manusia haruslah menjadi pijakan dalam menuntaskan berbagai masalah dalam kehidupan, tak terkecuali mencegah munculnya gejolak seksual dan pemenuhannya yang tidak tepat, sehingga anak terlindungi dari kejahatan seksual.
Ada tiga pilar yang harus ditegakkan untuk melindungi anak dari kekerasan seksual, yaitu peran individu dan keluarga, peran masyarakat, dan peran negara. Orang tua atau keluarga memiliki peranan penting dalam menjaga anak-anak.
Dalam Islam anak adalah amanah bagi orang tuanya yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah swt. Orang tua wajib mendidik anak-anak dengan hukum Islam agar menjadi individu yang bertaqwa.
Pemahaman terhadap hukum Islam secara menyeluruh adalah salah satu benteng agar anak tidak terjebak kepada kondisi yang membahayakan dirinya. Diantaranya dengan memahamkan batasan aurat dan batasan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam memandang, berbicara, berpegangan atau bersentuhan.
Islam juga memerintahkan orang tua untuk memisahkan tempat tidur anak yang sudah berumur sepuluh tahun, guna menjaga agar naluri seksual tidak muncul sebelum waktunya. Semua pemahaman ini harus disampaikan kepada anak dengan bahasa yang mudah dipahami, dan kemudian menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan.
Keluarga juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap anak, namun sayang hal ini terkendala oleh tatanan kehidupan kapitalis yang mendorong para ibu bekerja di luar rumah.
Orang tua juga perlu memastikan bahwa anak berada dalam lingkungan pergaulan yamg aman. Dimana dan kemana mereka bermain, dengan siapa berteman dan apa yang dilakukan.
Meningkatkan komunikasi dengan anak juga perlu dijalin. Sehingga akan terbentuk sikap keterbukaan, kepercayaan, dan rasa aman pada anak. Hal ini diharapkan agar anak tidak perlu enggan atau takut bercerita tentang berbagai tindakan ganjil yang dialaminya. Misalmya diiming-imingi, diajak pergi, diancam, atau pun diperdaya oleh seseorang.
Peran masyarakat juga sangat diperlukan dalam menciptakan lingkungan yang aman untuk anak-anak. Masyarakat tidak boleh membiarkan ada celah sedikit pun bagi munculnya gejolak seksual. Ketika hukum Islam mengharamkan pornografi dan pornoaksi , maka seharusnya masyarakat memiliki satu pemikiran, satu perasaan, dan satu aturan terhadap masalah ini.
Selain itu masyarakat juga harus mengemban amar ma’ruf nahi mungkar sebagai bentuk kontrol terhadap kejahatan dan sarana yang dapat mengarah kepada kejahatan.
Peran negara tentu yang paling besar. Karena, pada hakekatnya negara mempunyai kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga, dan masyarakat. Diantara peran yang seharusnya dilakukan oleh negara adalah:
Pertama, negara wajib menjaga suasana taqwa agar senantiasa hidup, baik pada individu, keluarga, maupun masyarakat. Sistem pendidikan dan dakwah Islam yang dilakukan oleh negara akan memudahkan terbentuknya individu yang bertaqwa dan memahami aturan-aturan Islam. Hal ini dapat membentengi individu dari melakukan kekerasan seksual.
Suasana taqwa juga memudahkan orang tua dalam memahamkan hukum yang berkaitan dengan fiqih anak, sehingga pertahanan dari sisi anak pun akan tumbuh lebih kuat. Suasana taqwa di masyarakat juga dapat menumbuhkan kontrol sosial yang kokoh pula terhadap kejahatan apapun.
Kedua, negara harus menerapkan aturan pergaulan antara laki-kaki dan perempuan di masyarakat betdasarkan hukum Islam. Selain bertujuan untuk mencegah timbulnya gejolak seksual, aturan ini juga untuk mengelola gejolak seksual yang muncul.
Ketiga, negara wajib memelihara anak-anak terlantar yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. Negara memiliki kemampuan untuk menampung dan mendidikmya di rumah-rumah khusus anak yatim dan anak terlantar. Negara juga bisa mencarikan orang tua asuh bagi mereka.
Keempat, negara mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah masyarakat. Informasi yang dapat memunculkan gejolak seksual dan tindak kejahatan harus diberantas. Tidak terkecuali Ilmu atau teori yang bertentangan dengan Islam.
Kelima, menerapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pelaku sodomi harus dibunuh, berdasarkan sabda nabi saw.
“Siapa saja yang menjumpai satu kaum yang mengerjakan perbuatan kaum nabi Luth maka bunuhlah pelaku dan teman (kencan)-nya (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Adapun bagi pemerkosa yang belum menikah dicambuk 100 kali, dan bagi yang sudah menikah dirajam sampai mati. Apabila melukai kemaluan anak dengan persetubuhan didenda 1/3 dari 100 ekor unta.
Keenam, merehabilitasi anak-anak korban kekerasan seksual. Hal ini bertujuan untuk recovery mental dan menjauhkan mereka dari kemungkinan menjadi pelaku baru suatu saat nanti.
Ketujuh, menyediakan lapangan kerja yang luas bagi para kepala leluarga agar dapat bekerja dan menafkahi keluarganya. Dengan jaminan ini, para ibu tidak perlu bekerja sehingga bisa fokus menjaga, mendidik, dan mengawasi putra-putrinya.
Demikianlah, apapun upaya dilakukan untuk memberantas kekerasan seksual terhadap anak tidak akan berhasil selama sistem sekuler kapitalisme masih diterapkan. Hanya Islam dengan seperangkat aturannya yang bersumber dari Sang Pencipta, mampu melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.
Wallaahu a’lam bishawab.
Penulis : Siti Rosyidah (Pegiat Literasi)