KUNINGAN (MASS) – Di tengah kemeriahan peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama (Kemenag) yang diramaikan dengan berbagai kegiatan, seperti jalan santai berhadiah umrah dan gelaran wayang golek, suasana bahagia tidak sepenuhnya dirasakan oleh para guru honorer di bawah naungan Kemenag. Terutama bagi mereka yang mengajar di sekolah swasta.
Hal tersebut dikatakan oleh Oki Rohmani, seorang guru honorer madrasah yang juga aktif sebagai aktivis kepemudaan dan anggota ormas. Ia menceritakan dilema yang dirasakan oleh para guru swasta.
“Ada yang bergembira ria, tapi ada juga yang meratap sedih. Kami, guru di sekolah swasta, seperti dianaktirikan,” ucapnya, Selasa (7/1/2025).
Masalah utama yang dihadapi para guru swasta adalah ketidakadilan dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Hanya guru yang mengajar di sekolah negeri yang diperbolehkan mengikuti seleksi tersebut. Ia mengungkapkan, hal itu membuat banyak guru swasta kehilangan kesempatan untuk meningkatkan status dan kesejahteraannya, meski memiliki pengalaman bertahun-tahun.
“Saya sudah bertahun-tahun mengajar dan berharap bisa ikut P3K, tapi harapan itu kandas. Alasannya selalu sama, aturan pusat,” ungkapnya dengan nada sedih.
Hal senada dikatakan juga oleh Mukhtar selaku guru honorer aktif di Kuningan Menurutnya tidak ada perbedaan mendasar antara guru swasta dan guru negeri. Sekolah swasta yang terdaftar resmi sebagai penyelenggara pendidikan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun, ketentuan seleksi P3K yang hanya diperuntukkan bagi guru sekolah negeri dirasa tidak adil.
“Bahkan, ada wacana guru-guru swasta yang lolos P3K akan tetap ditempatkan di sekolah swasta. Kalau begitu, kan benar-benar adil,” tambahnya.
Momen HAB Kemenag yang seharusnya menjadi refleksi dan apresiasi atas pengabdian semua guru kini diwarnai dengan isak tangis mereka yang merasa belum sepenuhnya diperhatikan, demikian lanjutnya. Aspirasi para guru swasta seharusnya menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Ia berharap pemerintah segera mencari solusi untuk masalah tersebut.
“Kami sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi, tapi jawabannya selalu sama: ini aturan pusat. Sampai kapan kami akan terus dianaktirikan? Padahal jumlah sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri,” tutupnya penuh harap. (argi)