KUNINGAN (MASS) – Bupati Kuningan secara berani mengumumkan bahwa ia telah mengantongi izin dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melaksanakan open bidding (OB) Sekretaris Daerah (Sekda) ulang.
Namun, keberanian ini terasa timpang. Seharusnya, Bupati juga dengan jujur mengumumkan apakah hasil OB Sekda terdahulu yang sudah menghasilkan tiga besar calon Sekda dibatalkan atau dinyatakan bermasalah. Jika tidak, maka langkah menggelar OB ulang berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum dan prinsip akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Aturan Hukum yang Berpotensi Dilanggar
Meskipun Bupati menyebut sudah mendapat izin, pelaksanaan OB Sekda kedua tetap berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan:
1. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 10 ayat (1): setiap keputusan pejabat pemerintahan wajib didasarkan pada asas kepastian hukum dan akuntabilitas.
Pasal 17 ayat (2): melarang adanya penyalahgunaan wewenang, termasuk bertindak sewenang-wenang.
OB kedua tanpa penjelasan sah mengenai status OB pertama dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas kepastian hukum.
2. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 213: pengisian jabatan Sekda harus mengikuti prosedur yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Mengabaikan hasil OB pertama sama dengan tidak menindaklanjuti prosedur seleksi sah yang telah dilaksanakan.
3. PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS
Pasal 118 ayat (2): hasil seleksi terbuka disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (Bupati) untuk memilih satu dari tiga besar calon terbaik.
Artinya, Bupati wajib menentukan Sekda dari hasil OB pertama. OB ulang justru bertentangan dengan kewajiban tersebut.
4. PermenPAN-RB No. 15 Tahun 2019 tentang Pengisian JPT Secara Terbuka dan Kompetitif
Pasal 19 ayat (3): hasil seleksi JPT (Jabatan Pimpinan Tinggi) berlaku hingga 2 tahun apabila jabatan belum terisi.
Karena hasil OB pertama belum melewati masa berlaku dua tahun, OB kedua dapat dianggap melanggar ketentuan ini.
5. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pasal 3 ayat (1): keuangan negara harus dikelola secara efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Dengan adanya OB kedua, biaya APBD yang sudah dikeluarkan untuk OB pertama menjadi sia-sia. Hal ini berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran yang pada akhirnya merugikan masyarakat sebagai pembayar pajak.
Daripada menambah polemik, Bupati sebaiknya menempuh langkah-langkah berikut:
Memberikan Kejelasan Hukum – Menyampaikan secara terbuka status hasil OB pertama. Jika memang ada cacat hukum atau maladministrasi, maka dasar hukumnya harus jelas dan diumumkan secara transparan.
Mengutamakan Efisiensi Anggaran – Memastikan bahwa setiap rupiah APBD digunakan secara efektif untuk kepentingan rakyat, bukan untuk mengulang proses yang seharusnya sudah final.
Konsultasi dengan Lembaga Independen – Melibatkan KASN, Ombudsman, atau BKN untuk memastikan tidak ada maladministrasi dan proses seleksi sesuai aturan perundang-undangan.
Kepemimpinan yang baik bukan hanya berani mengumumkan izin dari pemerintah pusat, tetapi juga berani menegakkan prinsip kepastian hukum, akuntabilitas, dan efisiensi anggaran. Pada akhirnya, rakyat Kuningan menanti bukti bahwa pemerintah daerah berpihak pada kepentingan publik, bukan sekadar pada prosedur formalitas yang berulang-ulang.
Penulis: Moh Agung Tri Sutrisno SH, pengamat kebijakan daerah dan praktisi hukum