KUNINGAN (MASS) – Akhir Mei kemarin, Presiden Joko Widodo telah meresmikan perpanjangan ijin untuk PT Freeport. Pemerintah telah menyetujui perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga dan lumpur anoda PT Freeport Indonesia dan perusahaan tembaga lainnya hingga 31 Desember 2024.
Perpanjangan tersebut tertuang dalam aturan baru, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 tahun 2024 tentang Penyelesaian Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri yang ditetapkan oleh Arifim Tasrif sebagai Menteri ESDM pada tanggal 29 Mei 2024, dan mulai berlaku efektif per tanggal 1 Juni 2024. (http://www.cnbc.com/31Mei)
Dengan perpanjangan ijin PT. Freeport ini, pemerintah meminta penambahan saham yang sebelumnya 51% menjadi 61%. Meskipun demikian, saham yang telah bertambah ini tidak menjadikan pemerintah menguasai penuh pengelolaan ataupun hasil dari tambang yang dikelola oleh PT. Freeport.
Pemerintah tetap menjadi pihak yang berperan sebagai regulator bagi pihak swasta asing untuk mengeruk dan menguasai sumber daya alam yang ada secara leluasa karena payung hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam sistem Kapitalis, sungguh suatu hal yang wajar apabila swastanisasi dan liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam yang hasilnya melimpah salah satunya pertambangan yang dikelola oleh PT.Freeport semakin mengakar kuat.
Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam baik yang ada dalam bumi maupun permukaannya. Sejatinya, Indonesia menjadi negara kaya raya yang mampu mengurusi dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Namun, hal ini tidak akan pernah terwujud dalam sistem Kapitalis yang mengandalkan pengelolaanya pada segelintir para korporat dan pihak swasta asing. Dari sistem Kapitalis ini pula yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan alam yang hasilnya melimpah, seperti pertambangan.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam pandangan Islam, tambang apapun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai kebutuhan hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang haram dimiliki oleh pribadi/swasta, terlebih pihak asing. Termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya, lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan pengelolaan berdasarkan syariah Islam, potensi pendapatan negara dari harta milik umum, khususnya sektor pertambangan sangatlah besar, juga tidak akan ada pihak swasta asing yang ikut mengelola harta milik umum. Hal ini tentu akan mampu terwujud apabila syariah Islam diterapkan secara menyeluruh, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam.
Wallahu’alam bishshawab
Penulis : Lia Marselia