KUNINGAN (MASS) – Kami, warga Desa Subang, Kecamatan Subang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas kondisi hutan desa kami yang semakin rusak dan terabaikan.
Hutan yang dahulu menjadi kebanggaan, penyangga kehidupan, dan ruang spiritual masyarakat, kini berubah menjadi kawasan yang terancam gundul, kering, dan kehilangan makna. Lebih dari sekadar hilangnya pepohonan, yang kami saksikan hari ini adalah kehancuran warisan hidup, termasuk hilangnya penghormatan terhadap Leuweung Tutupan, kawasan sakral yang selama ini dijaga turun-temurun.
Dulu, Leuweung Tutupan bukan hanya sekumpulan pohon. Ia adalah batas suci, tempat yang tidak bisa dimasuki sembarangan, wilayah yang dijaga ketat oleh kearifan lokal. Ia menjadi ruang untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan ciptaan Tuhan. Aturan adat mengikatnya dengan larangan tegas: dilarang menebang, membakar atau mengubahnya menjadi lahan garapan. Namun kini, nilai-nilai itu terkikis oleh desakan ekonomi, tekanan modernisasi dan kurangnya kepedulian dari berbagai pihak. Leuweung Tutupan yang dulu dihormati, kini ditelantarkan.
Kerusakan hutan tidak datang tiba-tiba. Ini adalah akibat dari serangkaian tindakan yang dibiarkan berlangsung tanpa kendali. Penebangan pohon tanpa izin, perambahan oleh pihak luar, lemahnya pengawasan serta ketidakjelasan batas wilayah hutan desa menjadi pemicu utama. Ditambah lagi, semangat kolektif untuk menjaga hutan mulai memudar, karena generasi muda tak lagi dikenalkan pada nilai-nilai adat dan filosofi hidup berdampingan dengan alam.
Dampaknya telah kami rasakan secara nyata:
• Air sungai mulai mengering, bahkan sumur-sumur warga mulai tak stabil debitnya.
• Air bersih mulai berkurang, jika musih hujan air untuk kebutuhan memasak sudah tidak lagi jernih
• Tanah menjadi mudah longsor, mengancam pemukiman dan lahan pertanian.
• Iklim mikro berubah; suhu udara meningkat dan musim semakin tak menentu.
• Hama menyerang ladang, karena hilangnya keseimbangan ekosistem.
• Hasil hutan bukan kayu menurun drastis, seperti madu hutan, tanaman obat dan bahan anyaman tradisional.
• Kearifan lokal tak lagi diwariskan dan masyarakat tercerabut dari jati dirinya.
Kami menyadari bahwa hutan bukan sekadar ruang hijau, melainkan bagian dari jantung kehidupan desa. Maka dengan ini kami menyatakan bahwa kerusakan hutan Desa Subang dan pengabaian terhadap Leuweung Tutupan merupakan krisis ekologis sekaligus krisis budaya.
Melalui pernyataan ini, kami mengajak:
1. Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten untuk menegaskan kembali perlindungan terhadap kawasan hutan desa, termasuk Leuweung Tutupan.
2. Dinas-dinas terkait untuk lebih aktif dalam edukasi, pendampingan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
3. Dilakukan re-identifikasi dan pemetaan partisipatif terhadap wilayah Leuweung Tutupan serta penguatan kelembagaan adat dan hukum lokal.
4. Pendidikan lingkungan dan budaya lokal ditanamkan kembali kepada generasi muda melalui sekolah dan kegiatan masyarakat.
5. Semua pihak—baik pemerintah maupun masyarakat—untuk menghentikan segala bentuk eksploitasi hutan yang tidak berkelanjutan dan tidak berkeadilan.
Pernyataan ini bukan bentuk kemarahan, tetapi seruan untuk bertindak bersama. Kami tidak ingin terus-menerus kehilangan hutan demi keuntungan jangka pendek. Kami ingin kembali hidup harmonis dengan alam, menjaga hutan sebagaimana leluhur kami menjaganya, dan mewariskannya dalam keadaan utuh untuk anak cucu kami.
Jika hari ini kita tidak bergerak, maka kelak yang akan diwarisi oleh generasi mendatang hanyalah cerita bahwa dahulu di Desa Subang pernah ada hutan, dan kita membiarkannya musnah.
#SaveLeuweungSubang
Desa Subang – Kecamatan Subang – Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
Penulis: Mamur Santosa