KUNINGAN (MASS) – “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Kutipan di atas adalah UU nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Adanya UU nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah sangat luar biasa untuk mengatur pendidikan nasional. Namun kita ketahui bahwasannya banyak sekali permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini.
Dan mungkin sejak dulu, mulai dari kurikulum yang galau, kualitas pendidik yang masih di bawah standar kompetensi. Lalu, biaya pendidikan yang tidak terjangkau semua kalangan, kontroversi penerapan sistem Ujian Nasional, kurangnya pemerataan pendidikan, dan masih banyak lagi termasuk kesejahteraan para pendidik Non-PNS atau tenaga honorer.
Tenaga pendidik non-PNS atau tenaga honorer menjadi profesi yang cukup menakutkan bagi sebagian orang. Mengapa demikian? Bukankah profesi guru itu tergolong profesi yang mulia?
Nah, permasalahan inilah yang menjadi momok menakutkan dalam dunia pendidikan. Mengapa demikian, apakah karena perhatian pemerintah yang kurang optimal? Tentunya pemerintah tidak berpangku tangan. Pemerintah, melalui Presiden, menteri pendidikan, gubernur, bupati, bahkan sampai lapisan bawah selalu mengatakan bahwa guru (termasuk dalam konteks profesi) sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.”
Apakah slogan “Pahlawan tanpa tanda jasa” ini sebenarnya hanya senjata yang digunakan oleh pemerintah untuk berpangku tangan terhadap kesejahteraan guru honorer (terutama dalam segi ekonomi)? “Mungkin kita pernah mendengar istilah “Pendidikan merupakan sebuah pekerjaan mulia dan bukan ajang untuk memperoleh penghasilan.
Ini yang patut ditanamkan pada diri seorang pendidik. Apabila profesi pendidik dipilih lantaran ingin memperoleh pendapatan atau penghasilan, maka akan terjadi penyimpangan dilingkungan pendidikan. Pendidik tidak akan bekerja dengan ikhlas”.
Ada sesuatu yang mereka lupakan, yaitu bahwa guru adalah sebuah profesi, dan orang-orang yang berprofesi sebagai guru adalah manusia manusia, yang hidup dan tentu saja membutuhkan kecukupan sandang, pangan, dan papan untuk bias memenuhi kualitas personalnya sebagai manusia, terlebih sebagai manusia yang butuh menghasilkan tenaga agar ia tetap bisa hidup dan menjalani profesinya yang memiliki tanggung jawab besar.
Gelar pahlawan tanpa tanda jasa tidak bisa membuat mereka (tenaga honorer) kenyang dan memenuhi kebutuhan lainnya, serta tidak bisa membuat mereka sejahtera dalam segi finansial.
Banyak sekali di Indonesia guru yang tidak bisa fokus dalam bekerja karena harus bekerja serabutan guna menjaga dapur agar bisa tetap ngebul. Belum lagi gaji tenaga honorer di SD yang hanya sekitar mendapat upah sekitar 200 ribu sampai 400 ribu rupiah saja.
Itupun umunya dirapel sehingga membuat mereka kelabakan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Betapa mirisnya potret kehidupan tenaga honorer di negeri ini.
Dihari Pendidikan Nasional ini, saya berharap kedepannya, semoga pemerintah menemukan solusi dan jalan keluar yang efisien dan masuk akal guna mengatasi kesenjangan ini agar istilah honorer tidak banyak dipelesetkan sebagai hororer—suatu profesi horor yang menakutkan bagi banyak orang, dan akan membawa dampak sikologis buruk dalam dunia pendidikan.***
Penulis: Yayan Nuryaman
Anggota DPD KNPI Kab. Kuningan