KUNINGAN (MASS) – Hari Pendidikan Nasional kembali datang. Seperti biasa, spanduk dipasang. Ucapan berseliweran di media sosial. Upacara dilaksanakan dengan tertib. Tapi pendidikan tidak pernah cukup dirayakan dengan seremoni. Ia terlalu penting untuk hanya diingat setahun sekali.
Selama beberapa tahun terakhir, kita hidup dalam satu jargon besar: Merdeka Belajar. Istilah ini terdengar indah dan filosofis. Secara gagasan, ia progresif. Guru diberi ruang untuk berinovasi. Murid didorong untuk lebih aktif dan merdeka secara batin. Sekolah diminta lebih fleksibel dan relevan terhadap perubahan zaman.
Namun, antara konsep dan kenyataan, kita tahu ada jarak. Antara kebijakan dan lapangan, seringkali ada jurang. Merdeka Belajar memang sudah menjadi nama program. Tapi apakah sudah menjadi kenyataan?
Apakah murid kita sudah merdeka dari tekanan ujian yang tidak berpihak pada proses? Apakah guru kita sudah merdeka dari administrasi yang membebani, dari kurikulum yang berubah-ubah, dari tuntutan tanpa dukungan?
Kini, kita berada di masa transisi. Menteri pendidikan telah berganti. Semangat baru pun diperkenalkan. Kali ini, namanya Deep Learning. Sebuah istilah yang terdengar canggih, berakar dari pendekatan pendidikan berbasis pemahaman mendalam. Di dunia akademik, ini adalah lompatan baik. Tapi rakyat kecil tidak hidup dalam istilah. Mereka hidup dalam kenyataan.
Kita patut khawatir jika setiap ganti pemimpin, semangat pendidikan pun ikut berganti nama. Karena pendidikan bukan soal branding. Ia soal keberlanjutan. Dan soal keberpihakan,terutama pada yang paling tertinggal.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.” Tugas pendidikan, kata beliau, adalah menuntun pertumbuhan itu. Bukan memaksanya. Bukan menyeragamkannya.
Pendidikan tidak bisa terus berputar dalam euforia ganti kurikulum, ganti istilah, dan ganti sistem. Ia membutuhkan arah yang jelas, konsistensi kebijakan, dan dukungan nyata, bukan hanya regulasi baru.
Di tingkat lokal, Kabupaten Kuningan sedang memasuki babak baru. Bupati baru telah dilantik. Harapan pun ikut diperbarui.
Apalagi Kuningan sudah lama punya mimpi menjadi Kabupaten Pendidikan. Cita-cita ini tentu butuh lebih dari sekadar slogan. Ia menuntut kebijakan yang berpihak, keberanian menata ulang prioritas, dan komitmen untuk hadir sampai ke sekolah-sekolah kecil yang kerap terabaikan.
Bupati baru membawa semangat baru: Kuningan Melesat. Sebuah jargon yang penuh energi. Tapi pendidikan tidak bisa melesat kalau guru tertinggal. Tidak bisa melesat kalau anak-anak belajar dalam keterbatasan. Maka biarlah jargon ini juga menjadi pengingat: kalau Kuningan ingin melesat ke masa depan, maka yang pertama harus dilajukan adalah mutu pendidikannya.
Karena masa depan tidak dibangun dari belakang meja. Ia dibangun dari ruang kelas yang hangat. Dari guru yang dihargai. Dari anak-anak yang belajar dengan gembira.
Tema Hari Pendidikan Nasional 2025 ini mengingatkan kita: “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Pendidikan bukan hanya tugas pemerintah, bukan hanya tanggung jawab guru atau murid. Pendidikan adalah usaha kolektif, dari keluarga, masyarakat, hingga dunia usaha. Semua harus terlibat dalam mewujudkan kualitas pendidikan yang setara, tanpa terkecuali.
Jika pendidikan diposisikan sebagai fondasi utama, maka cita-cita Kuningan Melesat bukan hanya bisa diraih, tapi juga diwariskan.
Oleh: Agus Saeful Anwar (Dosen UM Kuningan)