KUNINGAN (MASS) – Pada tanggal 1 September 2023 kemarin, Kabupaten Kuningan baru merayakan hari jadinya yang ke-525. Perayaan hari jadi Kuningan dirayakan dengan berbagai macam kegiatan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, beberapa diantaranya adalah Karnaval Mobil Hias dan Kuningan Fair 2023 atau biasa dikenal sebagai Pameran Pembangunan Kuningan.
Berbagai kegiatan itu disambut dengan antusiasme yang tinggi dari masyarakat Kuningan. Bahkan, Bupati Kuningan Acep Purnama sempat memprediksikan masyarakat yang datang ke Karnaval Mobil Hias pada hari Minggu (3/9/2023) kemarin bisa mencapai 100 ribu orang.
Euforia perayaan hari jadi Kuningan memang selalu tinggi, tapi kalian tahu gak sih soal sejarah berdirinya Kuningan sampai muncul nama Kajene di berbagai sumber sejarah Kuningan? Kalau belum tahu, Netizenmass sangat direkomendasikan untuk membaca artikel ini sampai tuntas.
Redaksi Kuninganmass mengunjungi Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Kuningan Dodo Suwondo di Gedung Kesenian Raksawacana Kuningan untuk mengetahui sejarah Kuningan dan nama Kajene pada hari Selasa (5/9/2023). Jadi, simak sampai tuntas ya!
Pada awal terbentuknya sistem pemerintahan di wilayah Kuningan, kerajaan dipimpin oleh Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Kepemimpinannya itu sejaman dengan kepemimpinan Wretikendayun yang menjadi Raja di Kerajaan Galuh.
Saat itu, Sang Pandawa memiliki anak perempuan bernama Dewi Sangkari. Sedangkan Raja Galuh yaitu Wretikendayun memiliki dua anak yaitu Sanghiang Sempakwaja dan Sanghiang Mandiminyak. Kemudian, Sanghiang Sempakwaja memiliki anak lelaki bernama Demunawan. Akhirnya, Raja Kuningan dan Raja Galuh menikahkan Demunawan dengan Dewi Sangkari.
Setelah menikah dengan Dewi Sangkari, Demunawan kemudian diangkat menjadi Raja Kuningan menggantikan Sang Pandawa. Dengan dinobatkannya Demunawan sebagai raja, ia diberi gelar sebagai Seuweukarma dan Sanghiangtang Kuku. Disisi lain, setelah Seuweukarma dinobatkan menjadi Raja Kuningan, sepupunya yaitu Sanjaya, anak dari Sanghiang Mandiminyak juga menduduki kursi Raja Galuh.
Menurut Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, Dodo Suwondo, Kerajaan Kuningan terhenti sampai kepemimpinan Seuweukarma. Hal itu dikarenakan Kerajaan Kuningan dan Kerajaan Galuh disatukan oleh Seuweukarma dan Sanjaya.
“Nah etateh memang terputus (Kerajaan Kuningan) di Demunawan, soalna Kerajaan Kuningan jadi gabung jeung Galuh sabada rayina Sempakwaja nyaeta Mandiminyak gaduh putra Sanjaya anu ngawasa Kerajaan Galuh. Da memang moal kahartos didinya sabab terputus runtuyan Kerajaan Kuningan teh kasaha-kasaha na teu aya nu neraskeun sabab tos ngahiji jeung Galuh saprak Demunawan nyepeng Kerajaan Kuningan (Nah itu memang teputus Kerajaan Kuningan di Demunawan, soalnya Kerajaan Kuningan jadi gabung sama Galuh setelah adiknya Sempakwaja yaitu Mandiminya memiliki putra yang menguasai Kerajaan Galuh. Ya memang tidak diketahui disitu Kerajaan Kuningan karena terputus runtutan Kerajaan Kuningan ke siapa-siapanya karena emang tidak ada yang meneruskan soalnya sudah menyatu dengan Galuh setelah Demunawan Seuweukarma megang Kerajaan Kuningan),” imbuh Dodo Suwondo.
Setelah hilangnya Kerajaan Kuningan yang bergabung dengan Kerajaan Galuh, kemudian muncul dua kerajaan kecil atau keadipatian di wilayah Kuningan yang masih menjadi bagian dari Kerajaan Galuh yaitu Luragung dan Kajene. Saat itu, Keadipatian Luragung dipimpin oleh Suranggajaya dan Keadipatian Kajene dipimpin Aria Kamuning. Kemudian setelah muncul jaman Padjajaran Islam, kedua kerajaan itu disatukan Sebagai Keadipatian Kuningan dibawah Kesultanan Cirebon dengan Aria Kamuning sebagai pemegang tahta sementara.
Aria Kamuning berkuasa hanya sementara karena ia dan Suranggajaya menunggu anak dari Suranggajaya yaitu Sang Adipati menjadi dewasa. Baru saat Sang Adipati sudah dewasa, tepatnya pada tanggal 1 September 1498 ia dinobatkan sebagai Adipati di Keadipatian Kuningan yang berada dibawah Kesultanan Cirebon. Dengan dinobatkannya Sang Adipati menjadi Pemimpin Kuningan, ia diberi gelar sebagai Sang Adipati Kuningan.
“Jadi mimiti sejarah Kuningan mah aya dua fase. Fase kahiji Sang Pandawa, fase kadua nya dizaman Rahiangtang Kuku (Seuweukarma/Demunawan), tah engke fase katiluna jaman Sang Adipati Kuningan. Nah nu 1 September teh di Sang Adipati Kuningan. Ngan sakitu, jadi ngahijikeung antara Kademangan (Keadipatian) Luragung jeung Kademangan (Keadipatian) Sidapurna dihijikeun jadi weh Kaadipatian Kuningan. Awalna Aria Kamuning nyepeng Kaadipatian sementara, nalika putrana Suranggajaya nyaeta Sang Adipati dewasa nya diangkat jadi Adipati Kuningan. (Jadi pertama sejarah Kuningan itu ada dua fase. Fase pertama Sang Pandawa, fase kedua ya dizaman Rahiangtang Kuku, nah nanti fase ketiganya zaman Sang Adipati Kuningan. Nah yang 1 September itu di Sang Adipati Kuningan. Cuman segitu, jadi menyatukan antara Keadipatian Luragung dan Keadipatian Kajene atau Sidapurna disatukan jadi Keadipatian Kuningan. Awalnya Aria Kamuning megang Keadipatian sementara, setelah putranya Suranggajaya yaitu Sang Adipati dewasa ia diangkat jadi Adipati Kuningan).” ucapnya. (hafidz)