KUNINGAN (MASS) – Sudah menjadi rutinitas umat muslim setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji. Salah satu rukun Islam yang kelima yang dikatakan sebagai penyempurna Islam pada setiap muslim. Haji itu sendiri merupakan sebuah perumpamaan dari kisah nabi Ibrahim, Ismail, Siti Hajar sebagai peletak dasar tauhid. Seperti peristiwa Ismail yang nyaris disembelih oleh Ayahnya (Ibrahim). (lihat Q 37: 102-105).
Kisah tersebut menggambarkan kecintaan terhadap Tuhan dibanding segala-galanya (habl-unmin-a ’l-Lāh). Secara simbolik pelaksanaan korban dapat kita jumpai pada Idul Adha. Walaupun Alquran mengingatkan bahwasanya yang sampai itu bukanlah darah atau daging hasil korban tersebut, tapi murni hanya ketakwaan (Alhajj:37), tapi tujuannya tidak lain adalah untuk sosial(habl-unmin-a ’lnas), yakni dengan membagikannya kepada orang yang kurang mampu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa secara tidak langsung prinsip beribadah pada dasarnya adalah vertikal dan horizontal. Seperti perintah melakukan salat pasti selalu disertai dengan perintah untuk menunaikan zakat. Ritual haji pun secara garis besar adalah vertikal namun dibalik itu ia memiliki efek yang diharapkan sangat horizontal. Namun, dibalik semua itu, Haji hanya sebatas ibadah yang berupa kegiatan piknik saja.
Ali Syariati mungkin bukan satu-satunya cendekiawan muslim yang pernah menulis tentang haji. Tapi ia mengatakan bahwa esensi dari haji itu sendiri adalah evolusi manusia menuju Allah. Begitu pun arti haji itu sendiri, menurutnya haji adalah analogi simbolis dari filsafat penciptaan Adam. Haji merupakan sebuah “pertunjukkan” karena di dalamnya tergambarkan sebuah tema yang melibatkan Adam, Ibrahim, Hajar dan Setan, di latar tempat dan simbol-simbol yang meliputi pelaksanaan haji.
Kehidupan seperti biasanya yakni, menyaksikan hari berganti hari, siang dan malam kian datang dan pergi, jika tujuan hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan, maka sejatinya kehidupan hanya sebatas jasadnya saja. Namun ketika memutuskan untuk berhaji, kita dituntut untuk meninggalkan kehidupan sehari-hari. Nilai perjuangan dalam menunaikan haji sangatlah kental dan bertentangan jika haji hanyalah perjuangan-perjuangan tanpa tujuan.
Dalam menunaikan haji, ibarat sedang menghampiri Allah SWT, maka dianjurkan sebelum berhaji untuk membersihkan dan membebaskan diri, entah itu dari kebencian atau hutang. Karena berhaji merupakan cerminan dari kepulangan yang hakiki maka sebelumnya sebisa mungkin untuk membuat surat wasiat, beberapa persiapan karena mati adalah niscaya, supaya terjaminnya kesucian pribadi dan sebagai gambaran perpisahan di masa depan.
Tujuan sebenarnya dari kehidupan manusia itu bukan untuk binasa melainkan untuk berkembang, sejauh mana capaian yang dapat manusia bawa selagi dia menghampiri Allah. Karena ciri manusia itu adalah loyalitas kepada individu-individu lain, kejam, bodoh tidak bertujuan, tamak dan serakah. Kehidupan-kehidupan seperti ini membuat manusia memiliki sifat kebinatangan antara lain, segala yang melambangkan kekejaman, penindasan, tipu daya, melambangkan kelicikan, dan penghambaan.
Yang patut diambil pelajaran dari buku Makna Haji tersebut adalah ketika di bab mikat. Mikat adalah tempat untuk mengganti pakaian, untuk mengenakan pakaian yang sama dan sederhana, yakni dua helai kain yang satu melilit di pinggang dan yang satu mengait di bahu. Karena menurutnya, pakaian melambangkan status sosial, preferensi, dan pola kehidupan. Secara tidak langsung pakaian menciptakan ‘batas’ palsu yang menciptakan perpecahan di antar manusia dan menimbulkan diskriminasi. Dari pakaian tersebut, muncullah ‘Aku’ bukan kita atau kami, Aku dalam artian Rasku, kebangsaanku, keluargaku, kedudukanku, nilai-nilaiku, kastaku dan lain-lain.
Semua bentuk kedudukan, ras, kebangsaan, dll. Tinggalkanlah di Mikat, mengenakan seragam yang sama yakni dua helai kain, itulah yang dipakai oleh orang lain juga. Keseragaman yang terjadi saat itu terasa nikmat, karena setiap orang yang mengenakan kain ihram itu tidak terlihat perbedaannya sama sekali.
Sarat makna jika kita mengkaji haji secara esensial. Namun esensialitas ini bukanlah sebuah kesadaran yang begitu diperhatikan. Maka dari itu Makna Haji karya Ali Syariati sangat dianjurkan untuk dibaca. Sebagai bahan kajian pun praktik haji sangat mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan perjuangan menghampiri-Nya, karena kesadaran yang ditimbulkan yakni kesadaran bahwasanya kita hanya seorang manusia, tanpa harus membangga-banggakan ras, kedudukan, dan segala macam atribut yang fana.***
Penulis: Inggil Abdul Kafi
Lahir di Kuningan pada 2 Oktober 1997, seorang Mahasiswa semester 4 IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan salah satu anggota Literasi Malam Rabu Bersama Buku