KUNINGAN (MASS) – Baru saja menonton Gundala. Secara Storytelling film ini sangat memukau meskipun bukan hal baru jika Joko Anwar memiliki keistimewaan dalam storytelling. Saya bukan die hard fans Joko Anwar, cuma tiga film dari beliau yang saya tonton yaitu Janji Joni, Kala terakhir Gundala. Saya masih ingat memori pertama kali nonton film Janji Joni. Orang macam apa yang bikin film tentang pengantar roll film tapi dengan pengemasan cerita menarik. Dia bisa meyakinkan melalui film Janji Joni mau apapun profesi lu bisa jadi amunisi menggaet perempuan selama lu menunjukan passionate di profesi lu. Bagi perempuan ini bisa menjadi daya pikat.
Be Honest, jika sutradaranya bukan Joko Anwar mungkin saya tidak tertarik menonton Gundala seperti halnya Bumi Manusia setelah mengetahui sutradaranya Hanung Bramantyo. Satu-satunya film hanung yang get into hanya film Catatan Akhir Sekolah.
Just FYI saya cukup memiliki kegemaran ala-ala pengangguran menonton atau membaca wawancara pelaku-pelaku industri kreatif seperti Otong koil, The Popo, Mayumi Haryoto, David Tarigan, Dhanak Pembayung tak terkecuali Joko Anwar karena dengan membaca atau menontonnya sedikit banyak saya bisa menerka-nerka kerangka/landasan berpikirnya ketika berkarya.
Balik lagi perihal storytelling membangun cerita di negri yang super chaos yang similiarty dengan negri +62 yang penuh kemunafikan dan intregitas yang super payah. Kemunafikan negri +62 seperti yang dideskripsikan secara implisit oleh Roane Van Voorst dalam bukunya Tempat Terbaik di Dunia, buku yang ditulis berdasarkan pengalamamnya penelitian di Indonesia, kurang lebih menyatakan orang +62 histeria ketika ada skandal seks popstar bocor ke publik tetapi meyakini urusan perceraian disebabkan melulu oleh vagina yang belum pernah diratus wangi. Konyolna kesimpulan tersebut berasal dari orang lebih dari 3 kali gagal membina rumah tangga. Sama sekali tidak make sense. Sedangkan untuk urusan birokrasi lebih cepat harus ada uang pelicin. Duplikasi dari negri +62 ini yang dipake dalam bangunan cerita film gundala.
Sehingga menjadi believable jika pemilihan jagoan atau superhero dari kalangan kelas menengah-bawah atau kelas pekerja. Karena semua instrument yang dimiliki pemangku kepentingan dari kelas atas seperti, materi, jabatan, kuasa dan “seharusnya” intelektual diharapkan berguna untuk kemashalatan orang banyak justru disfungsional. Sedangkan masyrakat kelas pekerja sehari-harinya tidak terbiasa hidup dalam kepentingan orang banyak untuk mendapatkan cuan yang besar. Kepentingan mereka paling utama adalam survive dan tidak kelaparan. Scene rakyat demo demi mendapatkan upah yang layak serta untuk mempertahankan pasarnya dasarnya adalah agar survive dan tidak kelaparan.
Just Fyi lagi Joko anwar latar hidupnya berasal dari keluarga miskin, jika anda perhatikan menit terakhir Joko Anwar menyidang Livi Zheng di acara Q N A “Belaga Hollywood” beliau menegaskan jika bersinggungan dengan kepentingan orang banyak saya akan lawan. Perfomance Joko di acara itu mendapatkan tanggapan like a hero dari warganet. Personal stamement-nya semakin memantapkan ke-believable-nya film gundala.
Intermezzo:
” Based on true story, cerita pagi ini pedagang nasi uduk di perempatan menuju rumahku seringkali teriak-teriak agar dagangannya dibeli. Entah kenapa apakah karena iba atau risih lalu saya meminta karyawanku membeli nasi uduk disana. Sepulangnya karyawanku membawa gorengan dalam jumlah banyak katanya itu bonus dari ibu pedagang nasi uduk. Secara logika matematis tentu saja rugi, alasannya beliau memberikan bonus agar tidak mubazir. ” What a big Heart “bukan ? sepertinya tindakan itu lebih divine ketimbang kelas menengah atas sedekah dalam jumlah banyak berharap diganti 2 kali lipat karena guru agamanya menjanjikan seperti itu ”
Kekuatan cerita tidak believable jika tidak didukung dengan pembentukan karakter yang mumpuni. Joko Anwar membangun karakter tokoh antagonis tidak dalam spektrum hitam putih. Meskipun dasar yang dipake umum yaitu dendam masa lalu, tetapi memilihara anak yatim dan memdidiknya atau (membentuknya ?) menjadi sosok yang rela mati demi bapaknya layaknya penghormatan Zlatan Ibrahimovic kepada Jose Mourinho, In realty seorang publik enemy memang bisa dibenci sekaligus dikagumi. Pure genius.
Sedangkan untuk proses mendapatkan kekuatan layaknya mutan serta pemberian nama gundala masih believable tentu saja dalam logika film. Menariknya Joko Anwar menggunakan pendekatan mitologi kejawaan untuk hal ini. Rasa-rasanya hal ini bisa untuk memperkenalkan mitologi kejawaan kepada khalayak tanpa harus terlihat dipaksa karena storytelling sudah memukau. Senang rasanya melihat kostumnya yang dibuat handmade menggunakan teknik gunting tempel dari properti pabrik dan barang pribadi. Hasil eksekusi kostum mengingatkan saya pada gaya visual steampunk. Sesuai sekali untuk kostum yang masih beta version. Tidak “sok” tampak canggih yang justru dapat menghilangkan ke-believable-nya.
Jika anda mengikuti wawancara Joko Anwar dari mulai awal karirnya, mungkin anda akan sedikit banyak mengetahui bahwa penting baginya dalam film membawa personal statement terhadap isu-isu tertentu menjadi penting.
Tidak berubah dari film pertamanya, Janji Joni dan Kala Joko Anwar menyisipkan sikapnya yang Pro LGBT dalam scene rapat ridwan bachri dkk. Meskipun saya termasuk dari yang menolak LGBT (saya tidak akan menjelaskan alasannya teu penting oge). Untuk film ini beliau menyisipkan isu nasional dan isu bagi lingkaran tertentu.
Joko meledek anggota DPR yang bodoh dan malas verifikasi sehingga secara serampangan melakukan public speech. Ingat isu beras plastik bukan? Ledekannya diwakili melalui tokoh pengkor. Ingat pula statement pengkor yang bilang ” yang membuat orang-orang seperti kalian bersatu adalah karena saya ” apakat mengingatkan kembali pada isu RUU permusikan bukan ?. Musisi arus utama dan arus pinggir bersatu melawan villain. Bahkan Marcell Siahaan penyanyi dari area arus utama dan Arian 13 vokalis Seringai yang biasanya menolak untuk reuni dengan band underground legendaris milik mereka Puppen mau hadir duduk bersama dalam isu ini. Ya Allah aing ko tega bgt menyamakan Anang Hermansyah dengan Villain. hhehu
Scene karyawan kelapa sawit millik ayah pengkor seorang orator ulung yang berdemo menuntut kenaikan upah ternyata tidak luput dari kemunafikan. Tertangkap basah selingkuh dengan istri rekannya, justru membuatnya merencankan kelicikan menghancurkan ayah pengkor. Sok tahunya saya Joko Anwar sedang berekasi atas aktivis atau SJW ? yang tersandung skandal seks yang setahun belakangan ramai di kalangan penggiar twitter karena skandal seks. Mengakibatkan perseteruan antara jurnalis Jakarta post dan salah satu kontributor Geotimes sebagai tertuduh. Semakin menegaskan dan konsisten dalam menyusun storrytelling yang tidak dibingkai dalam spektrum hitam putih.
Tidak habis disitu, tokoh utama sancaka meskpiun pekerjaanya security dalam status sosial negri +62 dianggap pekerjaan rendahan ternyata memiliki pengetahuan saintifik yang baik tentang petir. Scene ditunjukan ketika adik dari merpati memuji kepintarannya lantas dijawab sancaka karena membaca buku. Artinya kepintaran tidak melulu dimonopoli oleh kaum menengah ke atas. Pendekatan yang sama dilakukan oleh film korea berjudul Parasite yang mendapatkan film terbaik di festival film cannes di Perancis.
Dalam wawancaranya di medcom.id untuk pembentukan cerita dan karakter Joko anwar menyebut lima hal yang sangat fundemental dalam hidup. Pertama agama, politik, seni, cinta, dan seks. Jadi lima hal utama ini pandangan yang menentukan karakter itu. Saya kira pendekatan seperti ini yang membuat Joko Anwar istimewa mungkin satu-satunya di Indonesia yang seniat itu dalam pembentukan karakternya.
Mungkin loh yahh karena saya jarang nonton film Indonesia dan bukan bagian dari bangga film Indonesia dan segala tetek bengeknya. Meminjam kutipan Gugun Arif film bagus tidak perlu merengek. Masa kecil yang miskin, isi otak yang jenius, pengalaman sebagai kritikus film, dan sebagai music geek penggemar Lou Reed, Elvis Castello dan Badly Drawn Boy meluaskan cakrawala berpikirnya.
Mengenai cinematography dan editingnya film serasa melihat pameran karya-karya foto, komposisi, lightning, seringkali metode rembrandt lightning muncul dalam pengamatan saya metode tersebut dirasa sangat pas untuk men-capture suasana mencekam dan keterpurukan pemilihan tone warna kulit asli semakin melengkapi keistimewaan dari sisi estetik. Beberapa kali pengambilan gambar terutama ketika scene sancaka masih kecil, mengingatkan saya pada kualitas yang sama dengan hollywood.
Jangan tanya mengenai scoring filmnya bagaimana untuk music geek seperti Joko Anwar dapat dipastikan dalam porsi yang pas in good way. Sebenernya hal itu sudah telihat dari teasernya gundala yang menggunakan lagu end the world-nnya Skeeter Davis, yang secara lirikal lagu tersebut match dengan cerita meskipun dari segi bunyi pemilihan lagu balad untuk tema film yang chaos debatable bagi sebagian orang. Justru saya menikmatinya sangat puitis sekaligus gelap secara bersamaan. Entahlah, mungkin karena bagi saya musik dapat impactful sama mood, serta meyakini frekuensi suara dari seorang penyanyi mempengaruhi baik dan tidaknya penyampaian pesan sebuah lagu.
Aktingnya para pemainya overall keren, Fariz Fajar Munggara swbagai sancaka kecil Apik Banget, meskipun kurang “passionate” ketika scene latihan silat. Abimana sama memukaunya layaknya ketika baca puisi sepotong senja-nya Seno Gumira Ajidarma, Tara Basro bikin gregetan apalagi gestur tubuhnya ketika pake rok pas bgt sama suasana hati perempuan yang sedang naksir. Aqi Singgih yang lebih dikenal sebagai vokalis Alexa not bad untuk pendatang baru. Danang susah memang untuk menghilangkan karakter komikalnya, tapi setidaknya tidak mengecewakan . Sama halnya dengan Aqi Singgih pemeran ibu sancaka Marissa Anita not bad untuk ukuran pendatang baru di dunia film. Bapak Sancaka diperankan sangat baik oleh Rio Dewanto sedangkan untuk Ario Bayu dari saya pertama kali melihatnya di tarix jabrix, lanjut ke film Kala sampai terakhir di Gundala tidak ada kemajuan kualitas akting. He’s not my fave. Lukman Sardi sebagai Ridwan Bachri sudah pasti jaminan mutu. Yang paling aduhai dari semuanya pemeran Pengkor oleh Bront Palarae.
Kekurangan film ini koreografinya seperti terlihat “leleus liat” CGI yang kurang nendang di beberapa bagian saja untuk make up tokoh pengkor sendiri saya rasa lebih realitis hantu-hantu di film Horor lokal 80’an. Singkatnya, film ini wajib nonton meskipun masih ada kekurangan.***
Penulis: Gema Ganeswara
Photographer, Music Geek, Aesthetic Enthusiast, Bukan penikmat kopi apalagi sinetron