KUNINGAN (MASS) – Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di bawah instruksi Gubernur Bapak Dedi Mulyadi, telah menerbitkan Keputusan Gubernur (No. 463.1/Kep.323-Disdik/2025) yang memperbolehkan satu rombongan belajar (rombel) SMA/SMK negeri menampung maksimal 50 siswa.
Kebijakan ini, menuai perhatian dan polemik di berbagai lapisan masyarakat. Sebagai pendidik dan pemerhati dunia pendidikan, saya merasa perlu menyampaikan pandangan pribadi saya terhadap kebijakan ini yang meskipun niatnya mulia, namun berisiko menimbulkan dampak yang tak kalah serius.
Saya memahami latar belakang kebijakan ini. Keinginan agar anak-anak dari keluarga tidak mampu tetap dapat melanjutkan pendidikan adalah cita-cita yang harus kita dukung bersama. Tidak ada anak yang layak tertinggal hanya karena masalah kuota atau biaya. Namun demikian, menyelesaikan masalah kuantitas dengan mengorbankan kualitas justru akan menciptakan lingkaran permasalahan baru.
Mari kita bayangkan satu ruangan kelas dengan 50 siswa. Apakah guru masih punya ruang untuk menyapa, mendengar, dan membimbing setiap individu? Bagaimana dengan siswa yang mengalami kesulitan belajar? Apakah ia akan tetap mendapat perhatian, atau justru tenggelam dalam lautan kepala?
Lebih dari sekadar angka, pendidikan adalah soal relasi, perhatian, dan pendampingan. Bila jumlah siswa terlalu banyak, maka proses belajar yang semestinya interaktif dan personal akan berubah menjadi monoton dan satu arah. Anak tidak hanya butuh tempat duduk, mereka butuh ruang tumbuh.
Kebijakan ini, saya yakini, bersifat darurat dan sementara. Tetapi jangan sampai yang sementara ini menjadi kebiasaan. Jangan sampai “lebih baik 50 anak belajar seadanya daripada tidak sekolah” menjadi dalih untuk terus mengabaikan kebutuhan ruang belajar yang layak, tenaga pendidik yang cukup, dan mutu pendidikan yang ideal.
Saya berharap pemerintah tetap terbuka terhadap evaluasi, kritik, dan masukan dari berbagai pihak, terutama dari lapangan – dari para guru, siswa, dan kepala sekolah yang merasakan langsung dampaknya.
Mari kita cari solusi yang tidak hanya menyentuh permukaan masalah, tetapi menyentuh akar persoalan: pemerataan pendidikan, penambahan sekolah, subsidi untuk sekolah swasta, serta penguatan peran guru dan kurikulum yang relevan.
Anak-anak kita tidak sedang berlomba masuk kelas, mereka sedang bertaruh pada masa depannya.
Kuningan, 10 Juli 2025
Oleh: Asep Saeful Hadi, S.Pd