KUNINGAN (MASS) – Isu kelestarian lingkungan di Kabupaten Kuningan jadi pembahasan serius dalam diskusi bertajuk “Kuningan Lestari, Asli atau Mimpi?” yang digelar Forum Diskusi Waroeng Rakyat, Sabtu (1/11/2025). Dalam diskusi tersebut, aktivis lingkungan Frederik Amallo menegaskan bahwa lestari bukanlah sekadar slogan, melainkan hak yang melekat bagi manusia dan seluruh makhluk hidup.
Menurutnya, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin kualitas lingkungan bagi masyarakatnya. Ia menjelaskan bahwa ada tiga indikator utama untuk menilai kualitas lingkungan: tutupan lahan, kualitas air, dan kualitas udara.
“Ada tiga aspek melihat kualitas lingkungan, aspek tutupan lahan, aspek kualitas air dan kualitas udara. Saat ini di Kuningan banyak lahan yang beralih fungsi, begitu juga dengan kualitas air yang sudah tercemar. Lestari bukan pilihan bagi Pemda, tetapi menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk menjamin kualitas lingkungan” ujarnya tegas.
Frederik menyoroti fakta bahwa banyak kawasan hutan di Kuningan tidak berada di bawah tanggungjawab pemerintah kabupaten, namun justru tidak ada keberanian untuk mengintervensi kebijakan pengelolaannya.
“Wilayah hutan di Kuningan mencapai 30% dari total luas wilayah kabupaten Kuningan. Pengelolaannya dominan dibawah Taman Nasional dan Perhutani, namun Pemerintah Kabupaten Kuningan seperti kehilangan nyali untuk mengintervensi kebijakan dalam pengelolaan lahan hutan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Frederik mengungkapkan bahwa penyadapan pinus seluas seribu hektare dan pengawasan mata air serta kualitas air menjadi tantangan tersendiri. Kuningan, lanjutnya, memiliki dua kawasan sensitif yang harus dijaga secara ketat: wilayah barat Ciremai yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), dan wilayah selatan yang dikelola oleh Perhutani.
Ia juga menyinggung soal tugu-tugu yang berada di puncak Gunung Ciremai. Menurutnya, simbol tersebut seharusnya tidak berhenti pada seremonial semata, tapi menjadi cerminan komitmen nyata dalam menjaga keseimbangan ekologi.
“Di puncak Ciremai ada tiga tugu, ada (tugu) PJ. Bupati Iip, Kejaksaan, dan Polri. Saya berharap ini bukan hanya tugu, tetapi bentuk kmitmen dalam menjaga lingkungan,” ucapnya
Dalam konteks pengelolaan limbah kotoran hewan atau KOHE, Frederik menilai pendekatan yang ada masih terlalu sempit. “Selama ini pengelolaan KOHE dihitung dari biaya prosesnya saja, bukan dari nilai keberlanjutan lingkungan. Padahal, ini seharusnya menjadi tanggung jawab lintas instansi, bukan hanya satu pihak,” ujarnya di akhir paparan. (eki)