KUNINGAN (MASS) – Era tahun 1990-an ketika penulis awal-awal berkunjung ke Jakarta dengan menggunakan bus kebanggan warga Kuningan yaitu Luragung Jaya, bus-bus Luragung Jaya era itu selalu sesak dan padat hilir mudik dari Kuningan ke Jakarta.
Bagi kami warga Kuningan bila terlintas nama Kota Jakarta selalu pasti terfikirkan dalam benak kami yaitu sebuah harapan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik dengan cara berdagang atau mencari pekerjaan yang lainnya.
Era tahun itu masih sulit menemukan mahasiswa-mahasiswa asal Kuningan yang ramai hilir mudik ke Jakarta, karena memang masih terhambat beberapa faktor. Berdagang merupakan salah satu tujuan utama warga Kuningan ketika merantau ke Jakarta berharap agar bisa mendapatkan hidup lebih baik dan layak.
Tahun itu ketika orang Kuningan merantau ke Jakarta sangat mudah bertemu sesama orang Kuningan, karena identitas yang melekat dan mengisi setiap ruang-ruang sudut ibu kota dengan bentuk warung yang khas yang kadang menempel di perkantoran, kadang menutupi saluran air, atau kadang juga ada yang dipinggir kali. Ditambah ada juga yang berjualan dengan cara asongan di perempatan jalan atau lampu merah.
Seduhan kopi sachet ekonomis dan rokok-rokok bisa diecer seakan menjadi menu utama yang dijajakan dan ini justru perputaran ekonomi yang “laris manis”, dari hal-hal tersebut tidak aneh hari ini banyak bermunculan Sarjana, Magister bahkan Doktor yang dihasilkan dari seduhan-seduhan kopi sachet untuk membiayai pendidikan anak-anaknya di jenjang tersebut.
Penulis contohnya; merupakan salah satu kaum akademis yang muncul dari warung rokok khas warga Kuningan. Walaupun orang tua pensiun dari jualan rokok saat penulis di jenjang kelas tiga sekolah dasar dan melanjutkan sebagai petani dan pedagang pupuk dan obat-obat pertanian di Kuningan.
Memang tidak mudah untuk bertahan di ibu kota ini, menginjak era tahun diatas 2005, kita tahu hilir mudik pelajar dari Kuningan sudah mulai banyak memadati bus-bus jurusan Kuningan-Jakarta. Identitasnya sudah bukan hanya mengangkut para pedangan dan pekerja tetapi pelajar juga.
Penulis hanya ingin memberikan suatu gambaran bagi warga Kuningan, bahwa hal tersebut adalah regenerasi yang mulai beragam dan hal tersebut merupakan bentuk kemajuan yang kita rasakan. Selain itu kita juga bisa mengetahui, banyak ekonomi di Kuningan tumbuh akibat hal ini, atas hilir mudiknya para pedagan dan pekerja yang sudah mapan dan mulai banyak membangun rumah-rumah yang “lebih layak huni” di kampung-kampung di Kuningan.
Bentuk kemajuan tersebut sangat dirasakan warga Kuningan sampai hari ini, tapi penulis ingin sekali memberi gambaran dimana Ibu Kota dan sekitarnya hari ini sudah mulai dinamis dan berkompetisi yang ketat. Warung-warung klontong versi warga kuningan hari ini sudah mulai hampir-hampir sulit dijumpai di kawasan-kawasan strategis ibu kota dan sekitarnya.
Banyak pendatang baru yang lebih inovatif dan kompetitif dalam hal ini, ada mereka yang datang sudah mulai dari sewa warung besar dan berkelompok, ada juga warung sembako menggunakan standart kebutuhan “Palu Gada” (apa lu butuh gua ada) bahkan mereka buka 24 jam non-stop. Ditambah lagi hari ini sudah berkemajuan tekhnologi, warung sembako sudah bisa dibeli secara online hanya ojek online yang wara-wiri ke warung lalu mengantarkan pesanan ke pemesan langsung ke rumahnya dan lain-lain.
Para pelajar yang dulu dihasilkan dari warung-warung ini pun lebih banyak yang sudah beralih profesi bahkan enggan untuk melanjutkan, tapi hal itu sebuah pilihan yang tidak bisa disalahkan. Tetapi penulis ingin mengingatkan dari mana berasal dan bagaimana harus bersikap.
Bahwa identitas yang sudah melekat dan bahkan membudaya sudah harus selayaknya jangan dihilangkan, tapi lebih baik ditingkatkan bukan hanya dipertahankan. Bukan berarti penulis membatasi ruang gerak generasi penerus warga Kuningan yang ingin berkiprah di berbagai pekerjaan lain.
Tetapi bisa menyalurkan ide dan gagasan agar warung-warung kelontong khas warga kuningan bisa bertahan di kemajuan zaman hari ini. Supaya bisa lebih up to date dengan tetap mempunyai ciri khas ekonomis dan merakyat. Bukan hanya warung-warung kopi yang bisa berinovasi tetapi juga warung-warung kelontong sembako juga bisa berinovasi dan berimprovisasi dalam kemajuan zaman. Sehingga masih bisa bertahan dan banyak berkontiribusi ke ekonomi lokal di Kuningan.
Kaum pelajar warga Kuningan, penulis sudah banyak mengetahui, hampir hari ini bukan hanya konsen pada pendidikan, kesehatan dll. Sudah banyak lulusan pelajar juga di jurusan-jurusan yang konsentrasi pada bisnis. Sampai hari ini, improvisasi warga Kuningan belum bisa terlihat secara jelas dan dirasakan secara umum. Seperti kita ketahui ada beberapa kelompok dari warga daerah lain sudah mulai berkelompok secara kompak dan juga up to date dalam berjualan.
Penulis mengkritisi bukan pada esensi berjualan secara ekonomis dan merakyat yang sudah menjadi identitas warung-warung klontong dari Kuningan, tetapi cara berjualan yang harus terus di update supaya bisa bertahan di era gempuran zaman dan juga kompetisi dari para pendatang baru. Sudah waktunya hari ini para tokoh-tokoh yang berkecimpung di sektor ini bergotong royong duduk bareng membicarakan hal ini secara serius dan juga terkonsep.
Penting kita membicarakan wacana keberlangsungan identias warga Kuningan dari warung-warung kelontong di Jakarta supaya bisa bertahan dan berkembang. Penulis hanya ingin saling mengingatkan kepada warga Kuningan khususnya baik dari pelaku usaha tersebut, kaum pelajar juga tokoh-tokoh yang berperan penting supaya hal ini tetap lestari dan menjadi budaya yang positif untuk regenerasi kedepannya yang dapat bertahan dan berkembang dibawah tantangan perubahan zaman.
Tulisan opini ini ditulis oleh: Abu Sulaeman
Lahir dan Besar di Desa Garajati – Kec. Ciwaru – Kab. Kuningan. Sekarang berdomisili di Tangerang – Banten