KUNINGAN (MASS) – Menjelang peringatan Hari Santri Nasional, dunia pesantren kembali diselimuti duka mendalam. Tragedi ambruknya bangunan masjid di salah satu pesantren di Jawa Timur menjadi tamparan keras bagi kita semua — bukan hanya bagi keluarga besar pesantren, tetapi juga bagi seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah pusat dan daerah.
Tragedi ini seharusnya menjadi renungan bersama, bukan ajang saling menyalahkan. Namun kenyataan berkata lain. Saat semua mata tertuju kepada Pondok Pesantren Al-Khoziny, tak sedikit suara sumbang yang justru menghina dan bahkan menyerukan agar sang kiai dipenjara.
Sebuah ironi yang menyayat hati.
Di tengah tuntutan pertanggungjawaban, banyak yang lupa akan hakikat pengabdian pesantren — lembaga yang berdiri dan bertahan bukan karena limpahan dana negara, tetapi karena kekuatan iman, keikhlasan, dan dukungan masyarakat yang percaya akan perjuangan suci para kiai.
Pesantren selama ini dituntut untuk mandiri, berjalan tertatih dalam segala keterbatasan. Baik dalam hal pembangunan infrastruktur, peningkatan mutu pendidikan, hingga penguatan karakter santri. Padahal di balik tembok pesantren, ada perjuangan seorang kiai yang jarang terpublikasi — kiai yang tak bergaji tetap, tanpa jaminan kesehatan, namun tak pernah lelah membuka pintu ilmu bagi generasi bangsa.
Sementara itu, santri-santri yang menimba ilmu di pesantren sering kali tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan siswa di sekolah umum yang seluruh kebutuhannya dijamin oleh negara. Padahal, konstitusi telah menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa diskriminasi.
Dalam getirnya realitas ini, pesantren sering kali hanya dilirik ketika tragedi terjadi. Banyak pihak datang dengan dalih empati, namun tak jarang hanya untuk mencari sensasi dan sorotan publik. Pesantren pun kerap dijadikan komoditas politik, didekati kala menjelang pemilu, namun dilupakan setelah kekuasaan diraih.
Hari ini, pesantren diuji.
Diuji dengan tragedi yang tentu tak pernah diinginkan siapa pun. Diuji dengan pandangan miring yang menuduh kiai memperkaya diri, padahal faktanya banyak kiai yang hidup sederhana — jauh dari gemerlap fasilitas negara — namun terus mengabdi demi mencerdaskan umat.
Kini, ketika pemerintah datang berbondong-bondong mencari solusi, satu pertanyaan besar menggema di relung hati dunia pesantren:
Kemana selama ini?
Ketika pesantren berjuang sendiri membangun peradaban. Tidak sedikit didapati sulitnya mendapatkan ijin dalam berbagai pengurusan administrasi baik bangunan dan lain sebagainya, seolah pesantren tidak menempuhnya, padahal banyak terjadi pungli oleh oknum dibalik meja birokrasi, sehingga hal itulah yang membuat pesantren melangkah sendiri dengan segala keterbatasannya
Menjelang Hari Santri Nasional ini, semoga tragedi di Jawa Timur menjadi cermin kebangsaan — bahwa sudah saatnya negara hadir sepenuhnya untuk pesantren, bukan hanya saat duka datang, tetapi juga dalam setiap langkah perjuangan mereka menegakkan cahaya ilmu dan iman di bumi pertiwi.
Oleh: Muhamad Iftor Nawawi, Pegiat Pesantren