KUNINGAN (Mass)- Indahnya momen berlebaran tidak selama bisa dinikmati oleh semua orang. Banyak dari mereka yang merelakan momen indah itu untuk membantu banyak orang.
Anggota kepolisian, tentara, Petugas BPBD, Damkar, medis , penjaga rel, petugas pengamatan gunung berapi dan banyak lagi merupakan contoh yang tidak berlebaran di rumah. Mereka merelakan momen berkumpul untuk kepentingan orang banyak.
Iyus Rushana salah satu dari yang melewatkan momen berlebaran itu. Ia merupakan Petugas Pos Pengamatan Gunung Ciremai.
Ia harus bekerja selama 24 jam untuk mengamati Gunung Ciremai yang merupakan gunung berapi. Bukan kali ini Iyus melewatan momen lebaran namun sejak tahun 1980-an.
“Seperti biasa saya berjaga. Saya selalu menikmati karena tugas ini merupakan tugas mulia untuk menjaga keamanan Kuninggan. Bisa kapan saja gunung api itu bereaksi maka harus terus dipantau,” ucap Iyus.
Gunung Ciremai sendiri merupakan gunung yang masuk ke jajaran 127 gunung berapi yang ada di Indonesia. Gunung Ciremai sendiri merupakan gunung berapi yang terbilang jarang “menggeliat”.
Ini dibuktikan sejak meletus terakhir kali pada tahun 1938 hingga saat ini aktivitas gunung adem ayem.
“Memang pada tahun 2003 pernah terjadi getaran. Namun, geteran itu disebabkan oleh gempa tektonik lokal yang membuat Ciremai terbangun. Sebab, yang bisa memicu gempa vulkanik salah satunya ada gempa tektonik. Tapi, geteran tersebut tidak masuk kategori berbahaya,” ucap Iyus lagi.
Pria yang sudah bekerja sejak 1980-an ini mengatakan, meski karakter gunung berbeda dengan gunung lain yang selalu rutin menggeliat. Namun, warga harus tetap waspada karena yang namanya gunung berapi bisa aktif kapan saja.
Bukti Gunung Sinabung meletus kata dia, membuktikan bahwa gunung yang sudah lama diam ternyata bisa aktif kembali. Ini menunjukan kepada semua bahwa yang namanya gunung berapi harus diwaspadai.
“Dengan kondisi seperti ini maka kami selalu waspada. Sismograf pun terus bekerja sehingga ketika ada aktifitas di gunung bisa terditeksi. Hingga saat ini memang aman,” jelas ayah tiga anak itu.
Ia menyebutkan, apabila gunung sampai meletus maka akan banyak dampak negatif yang menimpa wilayah sekitar gunung khususnya Kuningan. Meski dampak positif yakni lahan tanah jadi subur.
Iyus menerangkan, apabila gunung meletus maka jarak 4-5 KM dari gunung termasuk zona bahaya. Kemudian, jarak 5-7 KM adalah zona waspada dan zona aman adalah radius 9-10 KM.
“Pada zona bahaya dan zona waspada warga harus diungsikan. Cilimus termasuk wilayah aman karena bejarak 9 KM dari gunung,” ucap pria yang kurang dari lima tahun akan pensiun.
Dalam kesempatan itu, Iyus menerangkan, meski sismograf bisa membaca semua bencana yang terjadi di Indonesia. Namun, ia menerangkan ketika satu gunung meletus tidak akan ada hubungan dengan yang lain.
Hal ini kata dia, karena dapur magma antara gunung berbeda tidak menyatu. Sebagai bukti ketika Gunung Selamat naik menjadi level waspada tidak ada pengaruh sama sekali. Ini yang harus dipahami oleh warga.
Menurut data dari berbagai sumber selama kurun waktu 400 tahun terakhir, Gunung Ciremai hanya meletus sebanyak tujuh kali. Letusan pertama Gunung Ciremai tercatat terjadi pada 3 Februari 1698.
Lalu, letusan itu disusul letusan kecil pada 11-12 Agustus 1772, 1775, dan April 1805. Ketiganya tanpa menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Tahun 1917 terjadi semburan uap belerang di dinding selatan gunung yang dikategorikan dalam letusan. Kemudian pada September 1924 terjadi tembusan fumarola kuat di bagian barat kawah dan dinding pemisah kawah.
Letusan besar terakhir tercatat pada periode 24 Juni 1937– 7 Januari 1938. Berupa letusan preatik dari kawah pusat dan celah-celah radial di dalam perut gunung.
Meski tidak jatuh korban jiwa maupun kerusakan berat, tetapi abu vulkanik yang dimuntahkan gunung tersebut tercatat jatuh tersebar di kawasan seluas 52.500 kilometer persegi.(agus)