KUNINGAN (MASS) – Ramadan hampir selesai, persiapan pernak pernik lebaran mulai diserbu. Tak ketinggalan arus mudik mulai dipadatii, dari mulai jalur darat hingga udara. Semua orang bergembira menyambutnya, walaupun harga tiket bagi transportasi umum tidaklah murah. Walhasil, program mudik gratis yang diselenggarakan pemerintah diserbu para pemudik.
Lebih dari itu, pemerintah pun memberikan sedikit kemudahan bagi pemudik dengan memberikan diskon bagi pengguna tol dan tiket pesawat. Besaran diskon tarif tol hingga 20% bagi pemudik yang pulang kampung dengan kendaraan pribadi, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Sedangkan tiket penerbangan domestik kelas ekonomi mendapatkan diskon 13-14% melalui potongan PPN.
Melihat kebijakan tersebut terdengar seperti angin segar bagi mereka yang akan mudik. Seolah-olah potongan harga (tarif murah) yang diberlakukan hanya pada saat musim mudik saja merupakan solusi atas persoalan akan tingginya biaya transportasi. Kebijakan ini memang pantas dikatakan sebagai kebijakan populis. Karena sejatinya bukan solusi atas mahalnya biaya transportasi, tarif tol, dan sebagainya, mengingat tarif murah tidak berlaku di luar masa lebaran. Faktanya, kebutuhan transportasi tidak hanya terbatas pada masa lebaran saja melainkan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat luas.
Mahalnya tarif transportasi bukanlah tanpa sebab. Hal ini, disebabkan negara yang mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak swasta. Sehingga negara tidak menganggap adanya pelanggaran manakala pihak swasta menaikkan tarif demi mendapatkan keuntungan, padahal telah membuat rakyatnya kesulitan. Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme.
Solusi Islam
Pada dasarnya, sistem kapitalisme mengindahkan para kapital atau pemilik modal berperan sebagai pemegang kendali, karena kekuasaannya akan modal yang mereka miliki. Salah satunya, negara menyerahkan pengelolaan transportasi kepada pihak swasta (investor). Akibatnya, tarif transportasi berada dalam kendali swasta. Dampaknya, rakyat menengah ke bawah semakim terjepit dan semakin sengsara karena tak semua warga mampu menjangkaunya.
Selain itu, negara hanya berpihak pada kepentingan pihak korporat dengan membuat kebijakan populis otoriter. Disatu sisi negara menjadi regulator korporasi, dan di sisi lain negara harus terlihat menjamin kebutuhan rakyatnya. Walhasil, kebijakan-kebijakan yang tidak solutif disuguhkan kepada rakyatnya.
Transportasi berkualitas, murah, aman, dan nyaman adalah hak bagi rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, bukan hanya di bulan Ramadan tetapi setiap saat. Hal ini, sejatinya hanya akan dirasakan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam di bawah institusi Khilafah Islam.
Dalam sistem Islam, negara adalah raa’in (pengurus). Sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan rakyat menjadi tanggung jawab negara, bukan pihak swasta. Bahkan, Islam melarang negara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator bahkan mengomersilkan hajat hidup masyarakat.
Pemenuhan kebutuhan transportasi bagi publik adalah tanggung jawab negara, dengan pembiayaan dari kekayaan negara yang tersimpan di baitulmal, bukan melibatkan investor ataupun hutang luar negeri. Pengelolaan baitulmal dalam sistem Islam langsung dikontrol oleh Khalifah, termasuk pemasukan ataupun pengeluaran untuk kemaslahatan umat. Sehingga, negara dapat mengetahui secara riil di lapangan terkait tersedianya fasilitas kemaslahatan umat yang menjadi tanggung jawab negara, salah satunya transportasi.
Wallaahu’alaam Bishshawwab.
Penulis : Lia Marselia (Aktivis Muslimah)