KUNINGAN (MASS) – Momentum debat capres-cawapres 2019 telah tiba. Kontroversi keputusan KPU tentang teknis debat pun dapat disudahi, setidaknya. Kontroversi itu memang muncul bukan tanpa sebab, bohong jika masing-masing tim sukses berbicara ideal debat dalam persepsi publik, tapi tentu ideal tersebut dalam persepsi masing-masing. Tapi biarlah kontroversi itu ada, memang, jika tanpa kontroversi, maka kecerdasan linguistik masyarakat kita seakan tersumbat.
Debat yang ditunggu
Esensi debat adalah pertarungan kata-kata. Secara mendasar bahwa pemahaman debat itu adalah aktivitas berbicara antara lawan bicara dengan saling memertahankan kebenaran atas statemen masing-masing. Dan tidak jarang pula perdebatan memiliki happy closing for the winner dan sad closing for the loser. Sungguhpun demikian, kali ini kita tidak berbicara kalah menang.
Lalu, apa sesungguhnya yang menjadi pembeda antara debat pada umunya dan debat capres-cawapres ini? Tentu kita harus menentukan tujuan debat itu sendiri. Debat capres cawapres adalah momen yang ditunggu-tunggu masyarakat. Karena melalui momen ini, masyarakat ingin melihat ‘isi pikiran’ calon pemimpin bangsa ini. Bagaimana sang kandidat bisa ‘membius’ publik dengan penyampaian program-program dan janji politik lainnya.
Debat perdana tadi malam ternyata masih kering ide dan jauh dari ekspektasi publik tentang sebuah literasi program. Literasi program yang menjadi penentu masa depan masyarakat Indonesia dengan jumlahnya lebih dari 260 juta penduduk ini. Harapan besar masyarakat dalam debat tersebut sesungguhnya adalah bahwa dalam satu pihak paslon nomor 01 yang notabene petahana harus mampu mengkapitalisasi kesuksesan program-program yang sudah dijalankan. Namun, tentu petahana juga tidak lupa merasionalisasikan kepada publik tentang pekerjaan lain yang belum tercapai sesuai target, atau dalam bahasa oposisi adalah ‘program gagal’.
Petahana tidak bisa sekedar memberikan eksplanasi tentang keberhasilan yang sudah dilakukan, seperti kemudahan akses dan administrasi bisnis, memiliki menteri luar negeri yang kompeten, dinamika di kementerian yang mengindikasikan kematangan dalam melakukan konsiderasi regulasi sebelum diambil decision dan sejumlah regulasi lain yang lebih maju dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya.
Ekspanasi paslon nomor 01 tentu tidak salah, namun ada sesuatu yang missing dalam paradigma publik dengan berbagai permasalahan hukum dan HAM yang belum selesai juga. Seperti contoh kasus Novel Baswedan yang tak kunjung selesai, kriminalisasi tokoh agama tertentu yang tidak jelas pendefinisian kesalahannya, serta kasus lain yang belum usai. Ini penting untuk dijelaskan oleh seorang Jokowi sebagai top leader dan muara kebijakan ketika leading sector di bawahnya dianggap sudah tidak mampu lagi menyelesaikan dengan cepat.
Narasi politik Jokowi sebagai petahana sekaligus paslon telah menjadi ‘gugup’ menjelaskan tentang ‘kata hatinya’ yang sungguh berbeda dalam artikulasi ujaran verbalnya. Sementara pada pihak lain, paslon nomor urut 02 tentu belum memiliki pengalaman sebagai pengendali negara (Presiden dan wakil), maka pilihan ungkapan dalam debat adalah program-program atau janji politik. Program-program yang disampaikan Prabowo harus kohesif dan koheren dengan kondisi masalah penegakan Hukum dan HAM, Korupsi hari ini. Masalah-masalah tersebut didiagnosa dengan cermat, dianalisa dengan objektif, dan ditemukan resep untuk penyembuhannya.
Paslon nomor urut 02 tidak harus ‘latah’ memersalahkan rezim hari ini yang dicap ‘gagal’ dalam persepsi oposisi. Akan tetapi, akan lebih elegan jika paslon oposisi ini mengungkapkan ketidaktercapaian penegakan Hukum, HAM, dan penyelesaian kasus korupsi dalam kacamata solusi yang realistik bagi masyarakat. Realistik bagi masyarakat yang dimaksud adalah dipahami secara global dalam pikiran masyarakat bahwa melalui program-program yang ditawarkan paslon nomor 02 terukur sesuai kemampuan pemerintah mendatang. Kemampuan secara budgeting maupun secara kompetensi yang dimiliki aparat pemerintah merupakan bahasa tepat bagi pemahaman masyarakat. Paslon nomor urut 02 masih belum menyuguhkan ‘bahasa’ yang mudah dipahami lapisan masyarakat luas. Sehingga, momentum debat perdana itu telah menyisakan kekecewaan publik tentang sebuah harapan yang tak kunjung tiba.
Keliru Persepsi
Masalah yang keliru juga sering terjadi di masyarakat adalah melakukan komparasi antara petaha yang sudah terbukti dibanding dengan oposisi yang belum terbukti sebagai satu alasan untuk memojokkan oposisi. Ini juga tidak fair, karena hukum perbandingan akan bisa terjadi ketika dua potensi yang sama diberikan kesempatan yang sama namun produk kinerja berbeda, maka komparasi ini tepat. Akan tetapi, ketika komparasi kinerja seorang Jokowi sebagai presiden hari ini dibandingkan dengan dengan Prabowo yang belum pernah menjabat Presiden, ini sangat keliru bahkan bisa jadi salah. Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa debat perdana semalam masih kering ide dan kurus kreativitas. Kita tunggu momen debat berikutnya. Hmmm.***
Penulis: Nanan Abdul Manan, MPd
Dosen STKIP Muhammadiyah Kuningan
Wakil Ketua ICMI Orda Kuningan
Kandidat Doktor Linguistik UNJ