KUNINGAN MASS – Tahun 1975, bocah kelas dua SD bernama Abidin menghabiskan sore harinya bermain di kaki Gunung Ciremai. Ia hafal jalur-jalur kecil tempat warga menggiring ternak, termasuk satu setapak yang kini berubah menjadi jalan aspal menuju kawasan wisata Palutungan. Yang tak ia sangka, puluhan tahun kemudian, tanah tempat ia bermain itu menjadi polemic karena dilalui jalan umum yang dibangun tanpa penyelesaian administratif dengan pemilik sahnya.
“Saya masih kecil waktu itu, kelas dua SD. Tapi saya tahu betul tanah itu milik keluarga Abah Kusmadio,” ucap Abidin, yang kini menjadi kuasa dari Irene Lie pemilik sah lahan yang kini menjadi sorotan. “Itu tanah pribadi. Ada sertifikatnya sejak 1975,”lanjutnya.
Abidin bukan hanya bicara sebagai kuasa hukum. Ia mengaku dirinya merupakan saksi hidup dari transformasi wilayah itu. Tanah yang dulunya hanya jalur pencari rumput, kini menjadi jalan strategis wisatawan.
“Dulu itu cuma jalan setapak untuk mencari rumput buat ternak. Enggak ada kendaraan lewat,” kenangnya.
Seiring waktu, jalan itu mulai dilebarkan dan diaspal. Namun yang mengejutkan, menurut Abidin, tidak pernah ada pemberitahuan atau pembicaraan resmi dari pemerintah daerah kepada pemilik tanah.
“Dulu sempat ada pemortalan juga. Tahun 2010-an kalau tidak salah. Ia merasa kaget, kok tanahnya tiba-tiba mau dijadikan jalan tanpa permisi,” katanya yang ditemani rekannya Tono Kartono dalam Podcast bersama Kuningan Mass, Rabu (23/4/2025).
Abidin menyebut, sertifikat atas nama Irene Lie bukanlah sertifikat baru, melainkan hasil dari transaksi sah antara keluarga Abah Engkus dan Irene Lie pada tahun 2013. Sertifikat tersebut baru diperbarui namanya pada tahun 2022 karena sebelumnya masih terikat Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun.
“Jadi yang bilang ini sertifikat baru, itu keliru. Ini bukan tanah negara. Ini tanah hak milik yang legal sejak lama,” ungkapnya.
Hal yang membuatnya miris, tak ada langkah serius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini secara musyawarah. Bagi Abidin, tanah bukan sekadar aset. Ia merupakan bagian dari sejarah hidup.
“Saya tumbuh di sini, saya lihat sendiri bagaimana tanah ini berubah. Maka ketika sekarang dipakai jalan tanpa kejelasan, rasanya seperti kehilangan sesuatu yang dulu jadi bagian dari masa kecil saya,” ucapnya pelan.
Kini, tanah itu sudah berubah bentuk. Terbelah oleh jalan selebar lima meter, membentang sejauh 420 meter. Tapi warisan memorinya tetap utuh dalam ingatan Abidin. Ia hanya berharap satu hal yaitu keadilan. (argi)
Tonton selengkapnya di sini :