KUNINGAN (MASS) – Selasa , 09 Maret 2021, hari ini matahari kembali terlihat malu untuk benar-benar memberikan cahayanya dan udara pun seakan bermain mata untuk menambah rasa untuk tetap di balik selimut karena dingin.
Hari ini juga tepat seminggu lalu saya melakukan suatu tes yang tidak pernah terlintas akan saya jalani sebelumnya.
Dan akhirnya saya termasuk deretan orang yang terkena penyakit ini yang kebetulan juga baru merayakan setahun kehadirannya yaitu Covid- 19.
Di sini saya hanya ingin berbagi pengalaman sambil menunggu test swab kedua dan berharap hasilnya negative sehingga saya bisa keluar dari batas aman pagar rumah saya.
Saya tidak akan menceritakan sakit yang saya alami atau kejenuhan yang membelenggu ketika harus terdiam di dalam kamar.
Namun saya hanya ingin membicarakan tentang diluar rasa sakit yaitu tentang psikis orang yang divonis terkena COVID-19 yang saya coba rangkum dari pengalaman saya dan orang-orang terdekat saya yang kebetulan sama pernah mengalami terpapar virus ini.
Ketika saya divonis positif saya jujur ada perasaan drop karena membayangkan apa yang akan terjadi walaupun mungkin “berutung”nya saya kena virus ini sekarang.
Dimana saya gak harus sembunyi-sembunyi melakukan swab, atau tiba-tiba di jemput ambulans untuk diam di rumah sakit. Namun tetap rasa resah itu ada, takut itu ada.
Saya menjalani isolasi di rumah , dan kembali saya “beruntung” karena saya tidak harus terlalu takut untuk berjemur.
Saya tidak takut ketika tetangga melihat saya dan pasti mereka mendengar saya terkena covid ini.
Karena saya berprinsip selama saya mematuhi protocol kesehatan dan tidak keluar dari pagar rumah saya, saya tidak akan menularkan penyakit saya.
Saya teringat cerita teman saya yang terkena akhir Desember kemarin. Bagaimana perlakukan tetangganya?
Dan seolah- olah keluar dari pintu untuk sekedar menyapu saja itu haram, bagaimana rasa sakitnya ketika orang berlari saat melewati rumahnya.
Bahkan yang bikin sakit hati pintu masuk ke dusun di blokade. Kalau di “banjur” air desinfektan tidak masalah karena itu upaya memutus mata rantai virus.
Belum lagi nanti kalaupun sudah dinyatakan negative, tetap ada segelintir orang yang beranggapan kita pernah positif dan agak segan untuk berlama-lama ngobrol atau apapun.
Itulah yang kadang lebih berat dari virusnya sendiri, bagaimana perlakuan dari luar yang menganggu psikis penderita?
Ditambah dengan pikiran bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari disaat seisi rumah terkena virus ini dan semua harus diisolasi.
Mungkin bagi segelintir orang yang cukup, mereka tidak terlalu pusing dengan permasalahan ini, karena mereka masih bisa melobi saudara ataupun orang lain untuk membantu.
Mereka tinggal melakukan pengobatan mandiri dengan kualitas terbaik untuk cepat sembuh.
Tapi bagaimana dengan orang yang jangankan harus memenuhi kebutuhan seperti susu, sayur, buah-buahan, vitamin, untuk membantu penyembuhan.
Kadang mungkin untuk makan dengan telur saja bingung. Mereka hanya mengkonsumsi yang biasa mereka kosumsi sebelum mereka sakit.
Dan tidak semua juga mendapat obat gratis dari Puskesmas, kadang kita harus membeli sendiri apa yang kita perlukan untuk kebutuhan kesehatan kita.
Dan disinilah kepedulian kita dipertanyakan , baik dari institusi pemeritahan, kesehatan dan lingkungan.
Kadang mereka seolah-olah menutup mata, telinga, ketika ada warganya yang terkena, bukannya membantu tetapi malah menghakimi, dan menutup pintu untuk tidak peduli.
Dan kembali “berutungnya” saya karena instansi kesehatan yang jadi rujukan saya amat sangat peduli untuk menanyakan keadaan saya dan memberi obat.
Minimal saya tidak perlu terlalu kwatir kalau keadaan saya tiba-tiba tidak baik.
Saya sangat berharap, semoga virus ini capat teratasi oleh pemerintah dan menghilang selamanya. Apalagi dengan dimulainya pemberian vaksin.
Saya juga ingin berpesan kepada siapa pun, yang mungkin di sebelah rumahnya ataupun di depan rumahnya ada yang terkena untuk lebih bisa peduli dan memberikan support.
Hal ini agar penderita merasa tidak terkucilkan karena terkena virus ini, minimal meraka merasa tidak sendirian.
Dan untuk instansi kesehatan pun jangan sampai pilih-pilih dalam melayani pasien . Jangan melihat kedudukan siapa pun dia yang terkena, karena banyak penderita tidak bisa membeli obat sendiri.
Untuk instansi pemerintahan seperti kelurahan atau desa untuk lebih memperhatikan apakah kebutuhan penunjang penderita terpenuhi, seperti susu, sayur dan buah. Karena semua ada dana alokasi untuk covid-19.
Saya disini hanya berbagi pengalaman, dan merasakan situasi yang tidak enak ini. Sekali lagi saya masih “beruntung “.***
Penulis
Pasien covid-19
Penulis
Pasien covid-19