KUNINGAN (MASS) – Apakah kita akan terus menunda cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), atau justru memanfaatkannya sebagai instrumen yang menyehatkan rakyat tanpa memadamkan mesin pertumbuhan?
Pertanyaan itu berulang muncul setiap kali pemerintah menyatakan aturan sedang disiapkan untuk diberlakukan tahun depan.
Publik pun bertanya-tanya: apakah ini sekadar jeda yang perlu untuk merapikan desain, atau pertanda ragu yang berkepanjangan?
Bayangkan ekonomi sebagai mobil keluarga.
Konsumsi gula berlebih adalah rem tangan yang pelan-pelan menahan laju tenaga kerja melalui penyakit tidak menular, absen kerja, dan produktivitas menurun.
Namun melepas rem tangan saja tak cukup; pengemudi juga harus piawai menginjak gas—mencipta lapangan kerja, menjaga belanja rumah tangga, dan melindungi usaha kecil.
Cukai MBDK adalah alat untuk mengelola keduanya sekaligus, asalkan dipakai dengan takaran yang pas.
Mengapa Mundur?
Penundaan berulang bukanlah penolakan prinsip, melainkan soal momentum dan kesiapan. Ada tiga simpul masalah yang kerap luput dari obrolan di permukaan. Pertama, siklus pemulihan. Ketika konsumsi baru bergerak, setiap kebijakan yang menaikkan harga ritel—sekecil apa pun—dirisaukan akan menahan penjualan jangka pendek. Ini terutama dirasakan pelaku kecil–menengah di hilir: pedagang ritel, warung, dan UMKM minuman dengan margin tipis.
Kedua, kesiapan administrasi. Cukai baru bukan sekadar angka tarif; ia memerlukan standar uji, mekanisme pelaporan, pengawasan, dan infrastruktur digital yang sederhana agar biaya kepatuhan tidak meledak. Pengusaha butuh kepastian: produk mana yang kena, ambang gula berapa, dan bagaimana proses auditnya. Semakin jelas dan sederhana, semakin kecil friksi di lapangan.
Ketiga, persepsi industri. Dalam kondisi permintaan yang masih rapuh, pemerintah lazimnya menghindari policy shock. Kekhawatiran klasik adalah substitusi ke produk informal yang sulit diawasi, atau pergeseran konsumsi ke jalur penjualan yang tak tercatat. Di sini, timing menjadi penting: transisi yang terlalu cepat berisiko memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Apakah perekonomian dan industri belum siap? Banyak produsen besar sebenarnya telah memulai reformulasi, menurunkan kadar gula, dan memperkaya pilihan rendah kalori. Tetapi ekosistem belum seragam; pelaku kecil memerlukan waktu dan dukungan. Artinya, penjadwalan yang pruden bukan mundur, melainkan merapikan landasan pacu agar lepas-landasnya mulus.
Potensi & Manfaat
Berapa potensi penerimaannya? Jawaban jujurnya: bergantung desain. Dengan tarif moderat, cakupan bertahap, dan ambang gula yang jelas, potensi itu berada pada kisaran beberapa triliun rupiah per tahun.
Angka ini tidak akan mengubah wajah APBN sendirian, tetapi cukup berarti untuk membiayai program yang benar-benar menyentuh keluarga: air minum layak di sekolah, kantin sehat, edukasi gizi, hingga dukungan reformulasi bagi UMKM minuman.
Namun nilai utama cukai MBDK tidak berhenti di kas negara. Ia bekerja sebagai sinyal harga yang menggeser perilaku: konsumen mengurangi asupan gula, produsen terdorong berinovasi. Pengalaman berbagai negara menunjukkan pola yang konsisten: kenaikan harga yang wajar diikuti penurunan konsumsi beberapa persen pada tahun pertama, lalu reformulasi produk agar kadar gula turun tanpa mengorbankan rasa.
Dalam konteks Indonesia, tren obesitas dan penyakit tidak menular yang meningkat selama satu dekade terakhir sudah menjadi alarm dini. Biaya kesehatannya merembes ke mana-mana—dari beban BPJS hingga hilangnya jam kerja produktif.
Di sisi lain, kekhawatiran dampak harga terhadap inflasi pangan perlu dibaca proporsional.
MBDK bukan bahan pokok; kontribusinya pada keranjang inflasi relatif kecil. Justru bila sebagian penerimaan cukai dialihkan secara transparan untuk program gizi, akses air minum aman, dan fasilitas sekolah, efek kesehatannya berlipat dan dukungan sosial menguat.
Di tingkat pelaku usaha, matching grant untuk alat produksi, konsultasi keamanan pangan, dan training reformulasi dapat mengurangi biaya transisi, terutama bagi UMKM.
Kuncinya desain yang sederhana. Ambang batas gula yang terukur, tiering yang tidak berlapis-lapis, dan pengenaan di titik ex-factory dengan pelaporan digital akan menekan biaya administrasi.
Dengan begitu, cukai tidak berubah menjadi “pajak birokrasi”, melainkan tetap pada tujuan mulianya: mengubah perilaku konsumsi demi kesehatan publik.
Arah Kebijakan
Bagaimana arah kebijakan di tangan Menkeu Purbaya yang menekankan pertumbuhan? Saya membaca sinyalnya sebagai growth bias yang cermat, bukan growth at all costs. Itu artinya, cukai MBDK bukan dibatalkan, melainkan dikalibrasi.
Pendekatannya bukan big bang, tetapi soft-launch yang dievaluasi ketat. Apakah bisa mundur lagi?
Secara politik-ekonomi, selalu ada kemungkinan. Tetapi setiap penjadwalan ulang seharusnya disertai milestone yang jelas: kapan sosialisasi tuntas, kapan sistem uji dan pelaporan siap, kapan cakupan diperluas, dan indikator apa yang memicu kenaikan atau penyesuaian tarif.
Kepastian proses sama pentingnya dengan kepastian angka.
Di titik ini, saya mengajukan tiga gagasan agar cukai MBDK sejalan dengan agenda pro-pertumbuhan. Pertama, phased approach.
Mulailah dengan basis sempit: segmen berkadar gula paling tinggi dan pangsa pasar terbesar, dengan tarif moderat pada semester pertama. Pastikan masa sosialisasi memadai—bukan sekadar publikasi, tetapi pendampingan reformulasi bagi pelaku kecil.
Lakukan evaluasi kuartalan terhadap inflasi, penjualan ritel, dan substitusi produk. Jika stabil, perluas cakupan di semester berikutnya.
Kedua, earmarking fungsional yang terlihat di mata publik.
Masyarakat akan lebih menerima jika melihat uang cukai kembali ke layanan yang mereka rasakan: air minum aman dan dingin di sekolah, program gizi, tooling reformulasi untuk UMKM, bahkan kampanye literasi gula di puskesmas.
Transparansi ini mengubah cukai dari “pungutan” menjadi “investasi kesehatan”.
Ketiga, administrasi yang simpel dan digital. Gunakan pengenaan per liter ditambah ambang gula sederhana sebagai tahap awal.
Hindari kerumitan pengujian yang membuat pelaku kecil terjerat biaya. Pelaporan daring, integrasi dengan sistem pita cukai yang sudah ada, serta audit berbasis risiko akan menekan biaya negara dan pelaku usaha sekaligus.
Sebagai pengaman tambahan, pemerintah dapat menerapkan price guardrail: jika ada lonjakan harga di luar proyeksi—misalnya akibat faktor non-kebijakan seperti gangguan pasokan—maka perluasan cakupan atau penyesuaian tarif dapat ditunda satu kuartal.
Dengan kata lain, kebijakan ini memiliki tuas fleksibilitas yang jelas dan terkomunikasikan.
Jangan Omon-Omon
Perdebatan cukai MBDK terlalu lama terpaku pada kata “kapan”. Padahal, yang lebih penting adalah “bagaimana”. Analogi rem dan gas mengajarkan bahwa mobil melaju aman bukan karena salah satu lebih dominan, melainkan karena keduanya bekerja serasi.
Cukai MBDK adalah rem kesehatan yang cerdas; pertumbuhan ekonomi adalah gas yang menjaga kecepatan.
Menimbang kondisi saat ini, soft-launch yang pruden, earmarking yang menyentuh keluarga, dan administrasi yang sederhana adalah paket kebijakan yang memungkinkan kita menginjak rem dan gas pada waktu yang bersamaan.
Kita tidak harus memilih antara kesehatan dan pertumbuhan. Dengan desain yang tepat, cukai MBDK justru menghemat biaya kesehatan jangka menengah, menjaga produktivitas tenaga kerja, dan membuka ruang fiskal bagi program yang lebih pro-rakyat.
Jika itu ditempuh secara konsisten, pertanyaan “apakah akan mundur lagi?” akan kehilangan relevansinya.
Yang tersisa hanya kepastian bahwa mesin kebijakan bergerak ke arah yang benar—lebih sehat bagi rakyat, lebih tangguh bagi ekonomi, dan lebih adil bagi pelaku usaha yang mau berinovasi.***
Achmad Nur Hidayat, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta