(Kisah dari Relawan Dirahmati)
Di beranda rumah tua di pinggir kota Kuningan, sebuah ponsel tergeletak di atas meja kayu. Layarnya retak di ujung, tapi masih menyala, menampilkan deretan pesan yang belum pernah dibuka.
“Selamat pagi, Pak. Kami hanya ingin bertemu sebentar.”
“Bagaimana kabar Bupati? Kami rindu berdiskusi seperti dulu.”
“Pak, relawan di desa mulai kecewa. Tapi kami masih percaya, Bapak punya hati.”
Pesan-pesan itu tetap di sana. Centang satu, tanpa tanda biru. Tak pernah terbaca.
Dulu, ponsel itu adalah alat perjuangan. Dari situlah suara semangat dikirimkan … memanggil kawan, mengatur strategi, menenangkan relawan yang lapar tapi tetap berjuang. Mereka percaya, Dirahmati bukan sekadar nama tim, tapi janji perjuangan: bahwa siapa pun yang menanam pengabdian, akan dipanen dengan penghormatan.
Malam itu, mereka masih ingat, bagaimana jalan-jalan kecil di desa diterangi obor. Bukan karena listrik padam, tapi karena harapan menyala. Mereka berkeliling dari pintu ke pintu, mengajak warga memilih perubahan.
Dan ketika kemenangan tiba, air mata mereka bukan karena bangga, tapi karena lega: akhirnya yang kecil bisa punya suara.
Namun waktu berputar cepat.
Janji berubah jadi jarak.
Senyum jadi protokol.
Sahabat jadi sekuriti.
Telepon tak lagi diangkat. Pesan tak lagi dibalas.
Yang dulu duduk di tikar kini duduk di kursi empuk.
Yang dulu bersalaman hangat, kini melangkah tanpa menoleh.
Mereka…para relawan Dirahmati …kini berdagang pisang goreng di sudut alun-alun. Tangan yang dulu memegang bendera kini menggenggam sendok adonan. Namun, setiap kali melihat mobil dinas melintas, mereka berhenti sejenak. Ada harapan kecil, mungkin jendela mobil itu terbuka, dan seseorang menatap keluar… mengenali mereka. Tapi tidak. Mobil itu terus melaju, kaca gelapnya seperti nurani yang tak tembus pandang.
Di antara minyak panas dan asap wajan, ada satu hal yang tak bisa mereka goreng: harga diri.
Sebab mereka tidak meminta balasan, hanya pengakuan. Tidak ingin jabatan, hanya ucapan terima kasih yang sederhana:
“Tanpa kalian, kami tak mungkin sampai di sini.”
Tapi bahkan itu pun tak pernah diucapkan.
Dan malam ini, di rumah tua itu, salah satu dari mereka menatap layar ponsel yang masih sama. Ia membuka pesan terakhir yang ia kirim setahun lalu. Pesan yang tetap berstatus tak terbaca.
Ia menghela napas, lalu menulis lagi:
“Pak, kami tak menuntut apa-apa. Kami hanya ingin tahu, apakah Bapak masih ingat kami?”
Kirim.
Centang satu.
Sunyi.
Di luar, angin malam berhembus pelan.
Dan di antara suara daun yang bergesekan, terdengar bisikan lirih — seperti doa yang tak selesai:
“Semoga mereka yang lupa, suatu hari membaca.”
Oleh : Dadan Satyavadin
