KUNINGAN (MASS) – Untuk jadi Bupati harus punya apa? Sering disampaikan harus punya kapabilitas. Akseptabilitas. Popularitas. Termasuk isi tas. Kapabilitas dimaknai sebagai manusia All Round. Bisa semua. Jika tak bisa pun bisa menyimpan orang yang bisa. Akseptabilitas berarti harus diterima banyak kalangan. Struktur sosial di daerahnya menerima segala kelebihan. Tapi tak siap menerima kekurangan.
Syarat ketiga apa betul harus populer? Popularitas sejatinya hanya mengantarkan menjadi bupati. Tidak seutuhnya menjadi bupati. Bupati utuh itu bupati yang riang gembira menyelesaikan segala janji dan tugas. Jika Hanya bermodalkan populer, sang bupati banyak yang menjadi menara gading. Susah dijangkau rakyat. Bukan Hanya kehadiran fisiknya tapi kebijakannya jarang menyentuh kebutuhan publik. Tak perlu juga isi tas menjadi syarat seorang menjadi Bupati.
Empat syarat tadi tidak semuanya harus dipenuhi. Minimal sependek pengetahuan saya ada empat bupati yang telah menjungkirbalikkan syarat syarat tadi.
Pertama mantan Bupati Batang Jawa Tengah. Yoyok Riyo Sudibyo. Mantan perwira TNI ini menorehkan prestasi liar biasa. Khususnya soal transparansi anggaran. Demo mencegah korupsi pejabatnya, Yoyok setiap tahun menggelar festival anggaran. Ini cara Yoyok mengefektifkan APBD yang selalu dibawah 2 T dan PAD nya dibawah 200 Milyar. Efektif penggunaan. Efektif pengawasan. APBD tidak dibuat dan dieksekusi secara sembunyi-sembunyi. Semua terang benderang. Semua warga bisa mengakses peruntukan anggaran. Padahal dalam setiap penyusunan anggaran pemerintah daerah selalu menyisipkan anggaran sosialisasi. Salah satu bentuknya dengan memperbanyak salinan APBD untuk ditelaah publik.
Tapi banyak daerah yang seperti enggan anggarannya diketahui. Hal ini tak boleh terjadi lagi. Efektivitas penggunaan anggaran bisa diketahui oleh nyaris semua penduduk. Tercegah jika ada dinas yang berusaha menyisipkan anggaran untuk yang tak produktif. Upaya main mata antara legislatif dan eksekutif pun terminimalisir.
Saat mencalonkan sebagi Bupati Yoyok bukan sosok yang populer. Tak diunggulkan. Yoyok menjabat jadi Bupati Batang sejak 2012 hingga 2017. Apresiasi terhadap upaya transparansinya, Yoyok dianugrahi piala Bung Hatta Award. Bukankah Batang kerap menjadi tempat studi banding para pejabat? Saat studi banding belajar apa?
Jika ingin belajar soal keberpihakan kepada ekonomi lokal, maka calon para calon bupati harus belajar ke Kabupaten Kulon Progo. Program beli dan bela yang digagas oleh Bupati Kulonproga kala itu Hasto Wardoyo. Tahun 2011 program digagas tahun 2013 kemiskinan di Kulonprogo turun 8 persen.
UMKM lokal dalam program ini betul betul berdaya. Diberdayakan. Karena jika hanya berdaya seperti tanpa peran pemerintah. Tapi pemerintah daerah benar benar menginisiasi dan memfasilitasi. Kebutuhan beras contohnya. Para petani Kulonprogo dipaksa tidak menjual gabah tapi berasnya. Bagaimana proses penggilinganya. pemerintah membuat Gapoktan-Gabungan Kelompok Tani dan setiap Gapoktan difasilitasi mesin giling.
Agar terserap panennya, Bupati mewajibkan setiap PNS yang jumlahnya 8000 orang untuk membeli beras dari petani lokal. Tidak hanya itu, Pemda juga bekerjasama dengan Bulog agar untuk beras Raskinnya membeli dari petani Kulon progo. Tidak hanya itu pemerintah pun memfasilitasi pembuatan branding dan kemasan yang layak jual ke pasar modern.
Apakah bisa diadopsi di Kuningan? Tentu bisa. Sangat Bisa. Lahan pertanian kita nyaris ada di setiap desa. Perajin batik pun diperlakukan sama. PNS wajib memakai batik dari perajin lokal. Tidak berhenti disitu. Keberpihakan nyata juga ditunjukan dalam pengelolaan toko modern. Caranya toko modern yang lokasinya kurang dari 1000 meter dari pasar tradisional harus berganti nama menjadi Tomira-Toko Milik Rakyat. Produk lokal mengisi rak rak toko modern. Presentasinya 20 persen. Bisakah dicoba di Kuningan. Tentu bisa.
Azwar Anas mantan Bupati Banyuwangi layak jadi inspirasi. Inspirasi soal inovasi keberpihakan kepada masyarakat kecil. Bukan hanya Bernas. Gaya bicaranya cepat tapi retorikanya terjaga. Ucapannya berisi. Penuh optimisme. Bupati penuh inovasi. Awal memimpin pendapatan perkapita Banyuwangi hanya 16 Juta perorang pertahun. Kini 45 juta perorang pertahun.
Programnya menyentuh ke lini terbawah. Orang tua tanpa saudara dikirimi makanan tiap hari. Rantang kasih programnya. Obat untuk orang sakit diantar pake go jek. Gratis. Aplikasinya dibuatkan khusus. Banyuwangi Mengajar menjadi incaran anak anak muda Fresh Graduate. Anak anak muda cerdas dikirim ke kampung kampung. Tidak boleh pulang. Mereka wajib berbaur, larut dan menyatu dengan anak didiknya.
Kabupaten paling timur di Jawa seakan sejengkal dari pusat peradaban. Karena setiap hari penerbangan lebih dari lima kali Banyuwangi Surabaya. Bahkan sejak 2018 ada Flight langsung dari Kualalumpur ke Banyuwangi. Hotel tidak ada kelas melati. Maksimalisasi Guest House syariah milik warga jadi pilihan. Program Smart kampungnya diakui secara nasional. Saat bersua tahun 2020 lalu. Azwar Anas berujar “Jika empat jam tidak ada respon dari SKPD perihal masalah sosial maka kepala dinasnya dimutasi,” ujarnya.
Tidak aneh, Banyuwangi yang sebelumnya hanya dikenal sebagai untuk mencari kejayaan kini bermetamorfosis menjadi kabupaten rujukan. Semoga para pemimpin daerah bisa berinovasi tiada henti. Karena presiden, Gubernur tak bisa melakukan eksekusi di daerah. Bupati walikota lah yang bisa.
Mantan Bupati keempat yang menurut saya layak diduplikasi adalah Kang Yoto. Mantan Bupati Bojonegoro. Soyoto nampak lengkapnya. Suyoto sadar sejak dari awal dukungan birokrasi kepadanya nyaris tak ada. Tetapi sebelum dilantik Suyoto memberikan “pengampunan” kepada seluruh pejabat yang tak mendukungnya. Tetapi ada syaratnya. Semua diajak bersepakat untuk bersama sama melayani rakyat.
Sepakat untuk tidak melakukan empat larangan: tidak pernah mengatakan bukan tanggungjawabnya kepada rakyat apapun yang dikeluhkan rakyat, tidak pernah mengatakan tidak ada anggaran walaupun sejatinya tidak ada, tidak pernah mengeluh dan tidak korupsi. Suyoto berkeyakinan kepercayaan publik harus tumbuh kepada pemerintah. Bukan percaya kepada Sosok Suyoto. Para pejabat diwajibkan turun bercengkerama dengan masyarakat. Medianya banyak dibuat. Mulai dari anjangsana dalam dialog Jumat, pengaduan online, hingga keterbukaan anggaran.
Selain transformasi birokrasi, kang Yoto juga melakukan management disaster. Bencana banjir tahunan Bengawan Solo disulap jadi wisata air. Para petani belimbing pendapatan nya meningkat tajam saat banjir melanda. Wisatawan dari luar daerah banyak yang antusias memetik belimbing saat Banjir.
Dalam sebuah perjumpaan Kang Yoto pernah berujar, “Dari selfish ke service, dari rigid ke gesit, dari material-center menuju people-center dan dari orientasi jangka pendek menuju jangka panjang.
Kang Yoto bukan sosok populer. Uang juga tak ada. Hanya mantan Rektor. Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik. Tapi publik terpukau dengan gagasan. Bukan sekedar isi tas dan popularitas.
Semua contoh kepala daerah yang dicontohkan secara geografis dan kondisi masyarakat nyaris sama dengan Kabupaten Kuningan. Agraris. Banyak perantau. APBD dibawah tiga triliun. Hanya saja yang belum hadir di Kuningan pemimpin yang mau bekerja. Mewakafkan waktunya. Selesai urusan dunianya. Berkhidmat sepenuhnya untuk rakyatnya.
Tantangan tentu tidak mudah. Apalagi dengan gagal bayar nyaris tembus 600 Milyar. Perketat anggaran. Kencangkan ikat pinggang. Semuanya. Pejabatnya. Masyarakatnya. Anomali gagal bayar tapi pejabatnya tambah aset jangan terulang lagi. Menjadi Bupati pembelajar adalah solusi. Belajar jangan hanya sekedar studi banding tanpa arah. Menggugurkan penggunaan anggaran. Semoga 2024 Kuningan dipimpin Bupati yang diimpikan.***
Abdul Jalil Hermawan – Dosen Ilmu Komunikasi UGJ