KUNINGAN (MASS) – Di penghujung akhir tahun 2024 terdapat banyak dinamika yang terjadi di masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan yang Volatil. Terutama dalam dinamika sosial yang terjadi di masyarakat terkhusus anak muda yang menjadi garda terdepan kemajuan peradaban. Tahun ini kata “brain rot” atau pembusukan otak, dipilih sebagai “Word of the Year” oleh Oxford University Press, sebuah penunjukan yang mengejutkan dan menarik perhatian banyak kalangan.
Secara simpel pembusukan otak terjadi akibat dari menkonsumsi konten atau tayangan online tanpa mutu dan dalam jumlah yang berlebihan. Istilah ini telah mengambil alih berbagai wacana di media sosial, literatur populer, dan diskusi publik, memicu eksplorasi tentang bagaimana perkembangan otak, teknologi, dan pengalaman manusia berinteraksi.
Bayangkan dunia tanpa buku, tanpa percakapan mendalam, tanpa pemikiran kritis. Di era digital yang serba instan ini, kita semakin terjebak dalam pusaran informasi yang tak berujung. Istilah “brain rot” atau “pembusukan otak” bukan lagi sekadar metafora, melainkan realitas yang kita hadapi. Pemilihan istilah ini adalah sebuah alarm bagi kita semua, terutama generasi muda yang paling rentan terhadap dampak buruk dari konsumsi konten digital yang berlebihan.
Istilah “brain rot” mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun dampaknya sudah sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini merujuk pada penurunan kemampuan kognitif akibat konsumsi konten digital yang berlebihan dan tidak berkualitas. Mirip seperti penyakit yang menggerogoti otak, kondisi ini ditandai dengan sulit berkonsentrasi, penurunan daya ingat, kesulitan berpikir kritis, dan bahkan perubahan perilaku. Konten-konten ringan, tidak mendalam, dan bersifat menghibur secara instan yang banyak beredar di media sosial seringkali menjadi penyebab utama dari brain rot. Algoritma yang dirancang untuk membuat pengguna ketagihan semakin memperparah masalah ini, karena mendorong kita untuk terus mengonsumsi konten tanpa henti.
Konsep “brain rot” yang diterima luas tahun ini tidak hanya terbatas pada aspek biologis atau fisik otak, tetapi lebih pada akar pemikiran dan pembentukan kesadaran manusia. Seiring berkembangnya teknologi, pemahaman tentang pengaruh lingkungan, pendidikan, serta pengalaman masa kecil terhadap struktur otak semakin mendalam. Kata ini mulai digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen fundamental yang membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Dalam hal ini, “brain rot” merujuk pada dasar-dasar pembentukan identitas, kognisi, dan perilaku manusia.
Generasi muda, yang tumbuh di era digital, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak “brain rot”. Paparan terus-menerus terhadap konten yang cepat, mudah dicerna, dan seringkali dangkal membuat otak mereka kurang terlatih untuk berpikir kritis dan analitis. Akibatnya, kemampuan konsentrasi dan daya ingat mereka menurun, kesulitan memahami teks yang kompleks, dan kurang mampu menyelesaikan masalah yang membutuhkan pemikiran mendalam. Selain itu, “brain rot” juga dapat berdampak pada kesehatan mental mereka, memicu perasaan cemas, depresi, dan kesepian. Ketergantungan yang berlebihan pada media sosial dapat mengisolasi mereka dari interaksi sosial yang sehat dan menghambat perkembangan emosional mereka.
Orang tua dan guru harusnya dapat berperan dengan baik dalam mencegah brain rot pada generasi muda. Mereka perlu menjadi role model dalam penggunaan teknologi. Dengan membatasi waktu layar, memilih konten yang berkualitas, dan melibatkan diri dalam aktivitas non-digital bersama anak-anak, orang tua dapat menanamkan kebiasaan yang sehat sejak dini. Di sekolah, guru dapat mengintegrasikan pembelajaran digital dengan aktivitas yang merangsang pemikiran kritis dan kreativitas. Misalnya, dengan mengadakan diskusi kelas, proyek kelompok, atau kegiatan di luar ruangan, siswa dapat mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting. Selain itu, pendidik juga perlu memberikan literasi digital yang memadai kepada siswa, agar mereka mampu mengevaluasi informasi secara kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh hoaks.
Pemilihan “brain rot” sebagai “Word of the Year” 2024 bukan hanya mencerminkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menggambarkan pergulatan masyarakat global dalam mencari pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana kita membentuk identitas, perilaku, dan cara berpikir kita. Dari teknologi yang memengaruhi struktur otak hingga pembicaraan seputar pendidikan dan kesehatan mental, istilah ini membawa kita untuk merenung tentang akar dasar yang mendasari setiap pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Seiring dengan semakin kompleksnya dunia yang kita huni, “brain rot” memberikan kesempatan untuk kembali ke akar-akar manusiawi kita, untuk lebih memahami bagaimana kita berkembang, beradaptasi, dan hidup dalam dunia yang terus berubah.
Brain rot merupakan ancaman nyata bagi generasi muda di era digital. Konsumsi konten yang tidak berkualitas dan berlebihan telah merusak kemampuan kognitif, kesehatan mental, dan interaksi sosial mereka. Namun, masalah ini bukan tanpa solusi. Dengan kesadaran yang lebih tinggi, orang tua, pendidik, pemerintah, dan industri teknologi dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat. Kita perlu membatasi waktu layar, memilih konten yang berkualitas, mendorong aktivitas non-digital, dan mengembangkan literasi digital yang kuat. Setiap individu memiliki peran penting dalam mencegah brain rot. Mari kita mulai dari diri sendiri dengan mengubah kebiasaan digital kita dan menginspirasi orang di sekitar kita untuk melakukan hal yang sama.
Oleh : Muhammad Ragil Ar-Raqiib (Aktivis muda Kuningan/Pengurus IMK Wil. Cirebon)