KUNINGAN (MASS) – Pemecatan direktur sekaligus semua karyawan PDAU Kuningan berbuntut panjang. Kini, borok perusahaan daerah itu mulai terungkap. Salah satunya kaitan dengan pengeluaran biaya ratusan juta rupiah yang diduga tidak jelas penggunaannya dan dinilai mengganggu cash flow perusahaan.
Dugaan ini diutarakan salah seorang anggota Serikat Pekerja PDAU Kuningan, Uton Subehi, yang menjabat kepala Departemen Pengembangan Usaha di perusahaan daerah tersebut.
“Sebetulnya versi kita sih para karyawan PDAU itu kompak. Justru kita mengkritisi kebijakan direktur yang kami nilai membuat PDAU jadi seperti ini. Kesannya tidak kompak dengan direktur. Padahal kita hanya mengkritisi dan bingung terhadap apa yang dilakukan direktur,” ucapnya.
Dicontohkannya soal RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan) yang tidak ada. Dengan tidak adanya RKAP maka membuat para karyawan tidak punya pegangan. Padahal mengacu perda itu kewajiban, sedangkan dalam 2 tahun ini tidak ada.
“Laporan triwulan ke dewan ataupun kemana, yang isinya pencapaian PDAU dibandingkan dengan RKAP, berarti ada pembohongan. Cek saja, RKAP semasa periode pak Nana itu gak ada. Itu yang kita kritisi. Kalau kerja kita sih kompak-kompak saja, bahkan solid,” kata Uton.
Sewaktu PDAU dipegang pejabat sementara dulu oleh pegawai (Rani dan Slamet), imbuhnya, laba perusahaan diperoleh berdasarkan laporan audit akuntan public. Saat periode direktur Imam pun asset lancar berada di angka Rp1,6 miliar yang berarti ada duit cash.
Tahun 2019 itu, menurut Uton, masuk periode Imam yang diklaim periode Nana. Justru memasuki 2020 aset terus turun. Sumber pendapatan pun turun karena berkutat pada rencana-rencana investasi yang akhirnya menggerus dari cash flow.
“Menurut temen-temen itu akan membahayakan kelangsungan perumda. Itu sebenarnya yang kita kritisi. Saking sayangnya ke perumda. Nah mungkin itulah yang dikesankan tidak kompak. Padahal kita ingin menyelamatkan PDAU,” jelasnya.
Soal pengupahan secara insentif diawal-awal pandemic sewaktu diambil alih oleh KPM (Kuasa Pemilik Modal), pihaknya menerima. Sebab saat itu ada pembicaraan terlebih dulu yang membuat semua mengerti. “Kita terima kebijakan insentif, Bulan Agustus dan September. Karena ada pembicaraan dimana kita dianggap sebagai pegawai,” tuturnya.
Namun ketika dikembalikan lagi kewenangan kepada Direktur Nana sejak Oktober 2021, para karyawan berharap ada semacam dialog. Ajuan forum bipartit sudah dilakukan namun direktur dianggapnya selalu menghindar. Padahal ketika dikembalikan, maka direktur mempunyai kewenangan penuh.
“Ada dialog semisal, nih kedepannya akan seperti apa. Apakah sistem gaji segini dulu, nanti sisa gajinya dibayarkan setelah keuangan membaik. Kalau ada statemen seperti itu aja. Tapi kan selama ini menghindar,” ucap Uton.
Logikanya, imbuh Uton, para karyawan punya kewajiban kredit ke bank bjb yang merupakan fasilitas yang disediakan PDAU. Kreditnya direstruktur ketika menerapkan system insentif. Namun restruktur tersebut bukan menghilangkan kewajiban melainkan dibayar nanti atau dibayar ke belakang.
“Nah, kalau saja ada dialog, ada statemen komitmen bahwa hak temen-temen akan dibayar nanti. Jadi, kita bukan membantah KPM. Kita hormati keputusan beliau. Permasalahan ini ada di pola kepemimpinan direktur yang akhirnya pegawai yang jadi korban,” tandasnya.
Pengeluaran Biaya Tidak Jelas
Uton menegaskan, kalau saja direktur bisa menghemat dari sisi keuangan atau cash flow, dan perusahaan diatur dengan baik maka tidak akan kejadian seperti sekarang.
Sebagaimana yang disampaikan direktur sendiri yang memicu gonjang-ganjing, ada beberapa biaya pengeluaran investasi yang dinilai tidak jelas. Diantaranya pada proses perijinan Tata Guna Lahan yang menelan biaya sekitar 260 juta.
“Gak tahu lokasinya dimana. Kita gak tahu. Itu sama tim beliau (direktur, red). Dikerjakan orang baru, kita juga gak tahu siapa itu. Ada kontraknya. Menunjuk orang baru, ada SKnya,” ungkap Uton.
Kemudian pada pengelolaan parkir di Waduk Darma. Seharusnya ketika ada investor maka PDAU menerima uang. Ini malah PDAU yang mengeluarkan 60 juta ke pihak ketiga.
Pada pengelolaan Obyek Wisata Linggarjati, disampaikan ada dana talangan dari pinjaman pribadi, anak dan keponakannya. Tapi pada saat direktur menyampaikan presentasi, direktur sendiri mengatakan ada pengeluaran dari PDAU berapa ratus juta untuk pengelolaan Linggarjati.
“Akhirnya Linggarjati ditinggalkan dan itu oleh pihak ketiga semua. Bukan oleh pegawai PDAU. Ya antara 100 sampai 200 juta. Lucunya, pinjem juga ke bank,” ungkapnya.
Selain itu, penataan kantor yang menelan biaya lebih dari 100 juta. Penataan kantor tersebut dilakukan oleh temannya dari Bandung. Mestinya ada skala perioritas, apakah penataan kantor berpengaruh ke pendapatan atau tidak. Mengganggu cash flow atau tidak, seharusnya lebih bijak.
“Ada juga pengangkatan pegawai. Yang dikontrak itu banyak. Seperti buat kerjain proyek ICT, gak jelas ICTnya mana. Petugas parkir diangkat. Jadi nambah pegawai. Tata Guna Lahan nunjuk orang luar. Kohe (kotoran hewan) juga dengan investor kita ngeluarin duit untuk penyertaan modal,” kata Uton. (deden)