KUNINGAN (MASS) – Pengadaan mobil dinas sekitar Rp3 Miliar menjadi bukti wakil rakyat gagal baca suara rakyat. Saat rakyat berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang melambung dan pelayanan publik yang stagnan, DPRD Kuningan justru sibuk membahas “hak” mereka atas fasilitas mewah. Anggaran hampir Rp3 miliar untuk mobil dinas pimpinan DPRD bukan sekadar angka, tapi simbol dari kemewahan yang tak tahu tempat. Ini bukan sekadar pengadaan, ini bentuk abai terhadap rasa keadilan sosial.
DPRD punya peran strategis: menyusun anggaran, mengawasi eksekutif, dan menjadi jembatan suara rakyat. Tapi dalam kasus ini, mereka justru berlindung di balik prosedur teknis. Dalih bahwa mereka hanya “menyetujui secara global” dan tak ikut dalam teknis pembelian adalah pengingkaran terhadap tanggung jawab moral dan politik yang melekat pada jabatan mereka.
Bukannya menjawab kritik publik, yang terjadi justru aksi saling lempar. DPRD menunjuk eksekutif, sementara eksekutif tak bersuara. Padahal, transparansi seharusnya menjadi sikap dasar dalam penggunaan dana rakyat.
Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah sikap diam Pemerintah Daerah (Pemda). Saat kontroversi mencuat, tak ada keterangan resmi yang menenangkan publik. Diamnya Pemda hanya memperkuat asumsi bahwa pengadaan ini memang tidak berpihak pada rakyat. Dalam isu yang menyangkut uang publik, diam bukanlah netral—diam adalah bentuk pembiaran, bahkan bisa disebut sebagai bentuk keterlibatan pasif.
Rakyat tidak lagi butuh janji dan klarifikasi setengah hati. Mereka butuh bukti: bahwa wakil rakyat dan pemerintah daerah benar-benar hadir untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memperkaya diri dengan fasilitas negara.
Kami akan menganggap hal ini dengan serius.
Oleh: Roy Aldilah, Ketua Umum Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kuningan