KUNINGAN (MASS) – Ramainya kasus yang berkaitan dengan RSUD Linggajati, membuat banyak pihak bertanya-tanya. Pasalnya, selain dugaan kelalaian yang berproses etik, kasus itu juga dilaporkan ke Polres Kuningan.
Lantaran kepolisian menerima laporan tersebut, bahkan sudah meminta keterangan ke beberapa tenaga kesehatan, jadi muncul pertanyaan lain. Apakah setiap dokter atau tenaga kesehatan yang “gagal” menolong pasien saat melakukan tugasnya sebagai petugas medis, bisa dipidana?
Pertanyaan itulah yang kemudian ditodongkan ke Kabag Hukum Setda Kabupaten Kuningan, Mahardika Rahman SH MM, Kamis (17/7/2025) siang tadi, pasca mendampingi Bupati memberikan keterangan pers soal RSUD Linggajati.
“Pertama sebenarnya mekanisme untuk pengaduan di profesi mereka (tenaga kesehatan) sudah ada, yaitu di Majelis Disiplin Profesi. Jadi semuanya mestinya alurnya kesitu, pengaduan, ketidakpuasan dan lain-lain,” kata Mahardika.
Namun untuk kasus sekarang, Kabag Hukum Mahardika mengiyakan bahwa pihak keluarga dan kuasa hukum langsung “lompat” pengaduan ke Polres Kuningan.
“Tapi (memang) Polres juga tidak bisa menolak (saat ada aduan, makanya Polres harus menerima laporan keluarga pasien),” jelasnya.
Meski tidak bisa menolak laporan, pihak kepolisian ini, kata Mahardika tidak bisa serta merta menetapkan pidana atas kasus yang berkaitan dengan profesi tenaga kesehatan.
Sesuai jalurnya, harus ada terlebih dahulu hasil dari Majelis Disiplin Profesi, yang menjadi dasar hukum. Hasil itulah yang nanti bisa digunakan pihak kepolisian ataupun kuasa hukum untuk melangkah lebih jauh.
Singkatnya, meski polisi bisa meminta keterangan dalam proses penyelidikan, tidak bisa meningkatkan perkara tersebut ke jenjang penyidikan atau penetapan tersangka, sebelum ada rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi.
“Harus prosedur itu dulu (Majelis Disiplin Profesi), jadi yang menentukan layak atau tidaknya perkara itu dilanjut adalah Majelis Disiplin Profesi. Polres menerima (laporan) sebagai aduan saja tidak papa, karena mereka tidak bisa menolak, tapi hanya sebatas penyelidikan,” terangnya sembari mengiyakan, proses selanjutnya bisa sangat lama.
“Majelis yang menentukan, bisa adanya pidana atau perdatanya itu tergantung Majelis,” imbuhnya lagi.
Bukan karena membela koleganya, Kabag Hukum Mahardika mengutarakan ketentuan tersebut karena memang sudah tertuang, dikunci, oleh Undang-Undang Kesehatan, lex spesialis.
Ia kemudian menyebut UU no 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dan Permenkes 12 tahun 2024 tentang mekanisme MDP (Majelis Disiplin Profesi).
“Kalo somasi (yang dilayangkan Kresna law ke RSUD) itu tetap pake KUHP yang baru, (tapi KUHP itu) baru berlaku 2026. (Jadi Polres) Tidak bisa mempidanakan secara langsung (sebelum ada rekomendasi Majelis),” jelasnya.
Mahardika bahkan mengiyakan kalimat polisi tidak bisa menolak laporan, tapi juga tidak bisa memproses laporan ke jenjang berikutnya (kondisi saat ini sebelum ada hasil majelis).
Dalam wawancara, Mahardika juga ditanya siapa saja yang termasuk MDP, apakah isinya adalah tenaga kesehatan lokal, Mahardika menjawab bukan. Majelis tersebut justru dari pusat. Sehingga tidak perlu diragukan lagi netralitas dan independensinya. (eki)