KUNINGAN (MASS) – Polemik nasional terkait pernyataan bahwa dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak membutuhkan ahli gizi profesional memicu kegelisahan publik di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Kuningan. Pernyataan tersebut bukan hanya mereduksi makna “bergizi”, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana standar pengawasan gizi di Kuningan ? Apakah program MBG di sini benar-benar dikelola secara profesional, atau dikhawatirkan mengikuti pola kelonggaran yang memicu kegaduhan nasional itu?
Kekhawatiran masyarakat bukan tanpa alasan. Fakta di lapangan menunjukkan sebaran tenaga gizi di Kuningan belum merata. Beberapa SPPG masih kekurangan tenaga, sehingga muncul keraguan apakah setiap dapur MBG kelak akan mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli yang kompeten. Publik ingin memastikan bahwa program yang seharusnya meningkatkan kualitas gizi anak-anak kita tidak justru terjebak dalam praktik operasional yang longgar.
MBG bukan sekadar membagikan makanan, tanpa perencanaan menu berbasis ilmu gizi dan pengawasan proses pengolahan yang ketat, program ini berpotensi kehilangan tujuan utamanya, bahkan mengundang risiko keamanan pangan.
Untuk memastikan MBG berjalan berkualitas, profesional, dan bebas dari praktik asal-asalan, pemerintah daerah perlu mengambil langkah solutif dan terukur. Beberapa rekomendasi yang dapat segera dilakukan antara lain :
1. Memastikan pemetaan dan transparansi ketersediaan tenaga gizi di seluruh kecamatan, sehingga publik mengetahui kondisi nyata di lapangan.
2. Menambah dan mengoptimalkan tenaga gizi, baik melalui redistribusi lintas wilayah, kemitraan dengan perguruan tinggi, maupun rekrutmen tenaga kontrak yang bersertifikat.
3. Menyusun standar menu dan SOP pengolahan pangan yang baku, disertai supervisi rutin oleh tenaga gizi profesional.
4. Membentuk mekanisme monitoring yang jelas, termasuk audit berkala, dokumentasi proses, dan laporan kepatuhan yang dapat diakses publik.
5. Membuka kanal komunikasi dan pengaduan masyarakat, agar warga dapat berpartisipasi aktif mengawasi dan memberikan masukan konstruktif.
Dengan langkah yang sistematis, transparan, dan berbasis profesionalisme, Kuningan berkesempatan menunjukkan bahwa kita mampu belajar dari polemik nasional dan menempatkan keselamatan serta kualitas gizi masyarakat sebagai prioritas tertinggi. Masyarakat berharap pemerintah daerah menyampaikan sikap dan rencana kerja secara terbuka, sehingga program MBG bukan hanya berjalan, tetapi berjalan dengan benar, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada akhirnya, keberhasilan MBG tidak diukur dari seberapa banyak makanan yang dibagikan, melainkan dari seberapa tinggi standar gizi, keamanan pangan, dan integritas pelaksanaannya. Kini masyarakat menunggu: apakah pemerintah siap menghadirkan standar yang lebih baik, atau memilih diam di tengah kegaduhan?
Oleh: Tsabitah Taqiyyah, B.HSc, Aktivis Perempuan, Praktisi Psikologi
