KUNINGAN (MASS) – Momentum Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban menjadi sarana untuk menapaktilasi dan meneladani perjalanan keluarga Nabi Ibrahim AS. Banyak pelajaran yang dapat ambil dan dijadikan bekal dalam memperkokoh ketahanan keluarga.
Nabi Ibrahim AS merupakan kepala keluarga. Ia membina keluarga sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai suami, ia berlaku adil kepada kedua istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar taat kepadanya. Ketaatan istri ini tidak terlepas dari ketaatan suami kepada-Nya.
Hal ini mengajarkan kepada kaum laki-laki (suami), jika ingin ditaati oleh istri, suami harus menjaga ketaatan kepada-Nya, bertanggung jawab, berkepribadian mulia, cinta keluarga, dan berperilaku sesuai tuntunan agama.
Sulit rasanya jika menginginkan istri taat dan salehah, sementara suami berakhlak tidak terpuji. Sia-sia suami menginginkan istrinya berubah ke arah yang lebih baik, sementara suami tidak mau merubah kebiasaan buruknya. Sebagai ayah, Nabi Ibrahim AS tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang, demokratis dan menjadi teladan.
Simak dialog Nabi Ibrahim AS sebagai ayah ketika menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putranya.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102).
Dalam dialog, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi anaknya dan bersifat demokratis. Sifat kasih sayang ini tergambar dari pilihan kata yang digunakan dalam memanggil anak. Ya bunayya (wahai anakku). Penggunaan kata “ya bunayya” merupakan panggilan kasih sayang. Lalu, Ibrahim meminta pendapat kepada sang anak ketika diperintah untuk menyembelihnya.
Tampak jiwa demokratis, Nabi Ibrahim AS sebelumnya telah menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada Ismail. Hal itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan keteladanan yang dilakukan oleh Nabi Ibarahim AS.
Alquran mengabadikan doa Nabi Ibrahim, Rabbi habli minashshalihin (wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang salih) (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 100). Hal ini mengajarkan kepada para suami agar selalu berdoa untuk memperoleh anak yang saleh. Anak merupakan amanah, dan anak bisa menjadi fitnah (Q.S. Al-Anfal [8]: 28).
Berdoa dan berlindung kepada-Nya agar diberi kekuatan dan kemampuan mendidik anak, sehingga anak tidak menjadi fitnah. Doa yang disertai usaha. Usaha bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam memilih jodoh. Meskipun Hajar berkulit hitam, berstatus budak, tetapi imannya teguh, akhlak mulia, taat beragama, dan patuh kepada suami.
Alquran menegaskan, seorang budak yang beriman jauh lebih berharga dari pada seorang musyrik meskipun menarik hati (Q.S. Al-Baqarah [2]: 221).
Untuk itu, jika menginginkan anak saleh, mulai dari memilih jodoh. Jika istri yang dipilih biasa mengabaikan perintah Allah, bagaimana mungkin ia dapat mendidik anak saleh?
Siti Hajar sebagai ibu. Ia memainkan peran sebagai ibu yang bertanggung jawab dalam mendidik anak, tangguh, pantang menyerah, dan tidak mengenal putus asa.
Ketika bayinya meronta kehausan, ia berlari mencari air dari Shafa ke Marwah, berulang kali untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Peristiwa ini diabadikan dalam ritual ibadah umrah dan haji, yakni sa’i.
Hajar juga menyerang iblis dengan lontaran batu ketika iblis mencoba untuk merusak imannya agar menolak keputusan Ibrahim menyembelih Ismail atas perintah Allah. Lontaran batu ini juga menjadi ibadah melontar jumrah dalam ibadah haji.
Hal ini menunjukkan, Hajar melindungi fisik dan ruhaniyah anaknya. Ia menjadi pendidik pertama dan laksana madrasah bagi anak. Ia juga menampilkan diri sebagai sosok istri yang patuh kepada suami dan taat kepada Allah. Meski berat menerima keputusan Ibrahim untuk taat kepada perintah-Nya agar menyembelih anak semata wayangnya.
Demi kepatuhan kepada suami dan ketaatan kepada-Nya, ia rela tanpa bantahan. Sikap ini seharusnya diteladani oleh setiap istri, taat kepada suami selama tidak bertentangan dengan ketaatan kepada-Nya.
Nabi Ismail AS sebagai anak. Ia tidak membantah, justru malah menguatkan hati ayahnya agar tabah menjalankan perintah-Nya. Nabi Ismail berkata: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kesalehan Nabi Ismail menjadi inspirasi bagi generasi muda. Seorang pemuda harus siap berkorban untuk berbakti kepada orangtua. Waktu, pikiran, tenaga, dan jiwa ia korbankan demi bakti kepada orangtua, sehingga mereka bangga memiliki anak sepertinya. Namun, kepatuhan kepada orangtua tidak boleh bertentangan dengan perintah-Nya.
Anak harus bangga melihat orangtuanya taat kepada Allah. Meski harus mengorbankan hal yang dicintainya di dunia. Karena itu, seorang anak perlu memberi dukungan dan semangat kepada orangtuanya agar tetap konsisten menegakkan kebenaran.
Ketaatan dan kesalehan anak memberikan energi positif kepada orangtua. Kepatuhan, ketaatan, pengorbanan, dan keteladanan menjadi kata kunci dari keberhasilan keluarga Nabi Ibrahim AS.
Jika setiap keluarga di negeri ini mau meneladani keluarga Nabi Ibrahim AS maka dapat memperkokoh ketahanan keluarga sehingga dapat berpengaruh terhadap ketahanan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.
H. Imam Nur Suharno, SPd, SPdI, MPdI
Penulis Buku Keluarga Samara Sehidup Sesurga, dan Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat