Connect with us

Hi, what are you looking for?

Netizen Mass

Awareness of Education dan Jalan Panjang Pengentasan Kemiskinan

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik”. Muhammad Rasulullah SAW.

KUNINGAN (MASS) – Diperkirakan butuh 15 sampai dengan 20 tahun bagi Kabupaten Kuningan untuk memiliki angka rata-rata lama sekolah (RLS) yang setara dengan RLS Propinsi Jawa Barat dan sekitar 30 sampai dengan 40 tahun untuk dapat setara dengan Kota Depok. Ketersediaan lembaga pendidikan bisa jadi merupakan bagian dari tantangan berat untuk menuju kualitas angka RLS yang terus berkembang pada masyarakat Kabupaten Kuningan.

Tahun 2010 angka RLS Kabupaten Kuningan adalah 6,58 tahun dan mengalami perkembangan menjadi 7,57 tahun pada tahun 2020 atau kurang lebih tumbuh 15,04 persen dalam kurun satu dekade. Bukan pertumbuhan yang buruk hanya memang jauh dari kualitas RLS Jawa Barat yang sudah mencapai 8,55 tahun terlebih RLS Kota Depok yang 11,28 tahun, pada tahun 2020.

Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi tumbuh kembangnya sebuah bangsa. Karena dari pendidikan-lah tingkat dan kualitas pendidikan serta tingkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dapat diukur. Pendidikan juga dapat dijadikan sebagai salah satu kunci penanggulangan dan pengentasan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang.

Namun, sampai dengan saat ini masih banyak penduduk (terutama dengan status sebagai penduduk miskin) yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu, hal ini disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan dan orang miskin memang tidak ada biaya untuk pendidikan dikarenakan lebih mengutamakan biaya untuk makan.

Di Kabupaten Kuningan sendiri pada tahun 2019 masih terdapat sekitar 8 kecamatan tidak memiliki fasilitas pendidikan setingkat SMA dan 15 kecamatan tidak memiliki fasilitas pendidikan setingkat SMK.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan sudah mulai menunjukkan hasil, walaupun di sana-sini masih didapati ketidaksempurnaan dalam dalam implementasinya di lapangan. Kekurangan yang masih perlu mendapatkan perhatian serius antara lain adalah manajemen yang kurang tepat, penempatan tenaga pendidikan tidak sesuai dengan bidang keahliannya, dan penanganan masalah bukan oleh ahlinya, sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan pada saat ini belum dapat diwujudkan.

Upaya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia jelas sangat menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk secara bertahap ditemukan solusi berkelanjutannya. Mengingat hal tersebut menjadi sedemikian pentingnya dalam memperbaiki peran pendidikan untuk mencetak generasi yang berkualitas dan meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang dengan kualitas yang lebih baik. Peranan pendidikan diantaranya adalah mempersiapkan siswa agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk membentuk  kesejahteraan umum sebagai warga negara yang aktif.

Kebijakan pemerintah mengenai wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (wajar 9 tahun) merupakan upaya pemerintah dalam mencapai tujuan Pendidikan Nasional, dan program tersebut menunjukkan adanya perhatian besar pemerintah terhadap pendidikan. Era tehnologi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat di saat ini, menuntut lembaga pendidikan bertanggung jawab dalam mempersiapkan sisiwa untuk menghadapi dunia luar yang penuh dengan persaingan dan tantangan.

Tetapi melihat kondisi ini pula, maka bergulirnya program pendidikan gratis atau pembebasan pembiayaan pendidikan selama 12 tahun menjadi sangat urgen bagi Kabupaten Kuningan untuk dijaga kesinambungannya. Memang mungkin program bantuan pemerintah tersebut tidak dengan serta-merta membuat masyarakat sadar dan antusias akan pentingnya sebuah pendidikan.

Kesadaran akan pendidikan di Indonesia masih harus terus dimotivasi tingkat awareness of education-nya, khususnya pada masyarakat daerah yang terpencil dan memiliki kesulitan akses menuju sarana Pendidikan. Sangat di sayangkan memang, tapi inilah kenyataannya. Di tengah era globalisasi dan modernisasi, semakin canggihnya teknologi masih saja ada masyarakat yang kurang menghargai bagaimana pentingnya pendidikan.

Sebagian penduduk masih memiliki pola pikir bahwa “mempekerjakan” anak lebih menghasilkan dari pada menyekolahkan anak. Pola pikir ini jelas di dorong oleh motif ekonomi terutama daya beli masyarakat yang rendah dan tentunya kurangnya kesadaran akan arti penting pendidikan bagi masa depan anak-anaknya. 

 Kondisi kemiskinan penduduk di Kabupaten Kuningan apabila mengambil sudut pandang kualitas pendidikan pada tahun 2019 penduduk miskin Kabupaten Kuningan di dominasi penduduk miskin dengan pendidikan SLTP kebawah sebesar 85,49 persen. Hal ini jelas sangat berkaitan dengan angka RLS Kabupaten Kuningan yang juga masih sangat rendah.

Dari sisi kebijakan pembangunan pendidikan di Kabupaten Kuningan (dan ini juga berlaku secara nasional) dengan pembebasan biaya pendidikan seharusnya mampu meningkatkan angka RLS namun lagi-lagi sisi perekonomian menyebabkan penduduk di Kabupaten Kuningan lebih memilih untuk “mempekerjakan” anak-anak mereka.

Faktor kesadaran akan pendidikan yang masih rendah di masyarakat seolah menjadi karang terjal bagi pemangku kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mengentaskan kemiskinan. Penyebab dari kurangnya kesadaran pendidikan secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama faktor pemahaman pendidikan orang tua; Orang-orang atau orang tua yang mempunyai jalan pikiran sempit yang mengganggap pendidikan tidak penting, mengakibatkan anak-anak mereka menjadi tidak mengenyam pendidikan formal akan menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketentraman masyaraka. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pemahaman pendidikan atau pengalaman intelektualnya serta tidak memiliki keterampilan yang menopang hidup sehari-hari.

Faktor pertama akan sangat berperan pada faktor ke dua, yaitu; kurangnya minat belajar. Menurut Qomar (2012:121) bahwa siswa yang sadar pendidikan adalah peserta didik yang tugas utamanya belajar. Kesadaran ini mendorongnya untuk mengisi waktu dalam jumlah dominan dengan kegiatan belajar. Kegiatan belajar atas inisiatif dari siswa sendiri, tanpa tekanan dan pengondisian dari pihak lain.

Minat menurut Slameto dalam Djamarah (2011:191), adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktifitas, tanpa ada yang menyuruh. Sedangkan menurut Crow & Crow dalam Djamarah (2011:192) berpendapat bahwa minat bervariasi. Kemampuan dan kemauan menyelesaikan suatu tugas yang diberikan untuk selama waktu yang ditentukan berbeda-beda baik dari segi umur maupun bagi masing-masing individu. Untuk seseorang yang sangat muda, lamanya minat dalam kegiatan tertentu sangat pendek. Ia kerap kali mendasarkan kegiatan-kegiatannya atas pilihan sendiri. Sehingga ia mudah dikacaukan dan mudah tertarik pada kegiatan yang lain termasuk dalam hal ini kegiatan yang lebih menghasilkan (uang).

 Dengan kondisi rendahnya kesadaran pendidikan maka pendidikan yang gratis sekalipun tidak akan mengusik ketertarikan masyarakat untuk menjadi lebih berpendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sedikitnya ada dua faktor yang menjadikan pendidikan gratis menjadi tidak menarik nagi masyarakat.

Faktor kesadaran pribadi menjadi faktor pertama; Anak yang yang belum sadar akan pentingnya pendidikan dan lebih memilih tidak melanjutkan sekolah ini karena disebabkan oleh faktor dari dalam diri anak tersebut, membuat mereka sudah bekerja pada saat usia sekolah agar dirinya bisa berfungsi pada keberlangsungan hidupnya. Seperti pada teori AGIL yang dipercaya oleh Talcott Parson (Raho, 2007:53) yakni Adaptasi (Adaptation) supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, pencapaian tujuan (Goal attainment) bahwa sebuah sistem harus menentukan tujuannya dan berusaha mencapainya, Integrasi (Integration) masyarakat harus mengatur hubungan diantara komponen supaya dapat berfungsi maksimal, dan Latensi atau pemeliharaan pola yang sudah ada (Latency) bahwa setiap masyarakat harus mempertahankan dan memperbaharui baik motivasi maupun pola budaya yang menciptakan motivasi itu.

Sedangkan menurut Saroni (2013:204) mengatakan bahwa kesadaran individual merupakan suatu bentuk kesadaran yang tumbuh dan berkembang dalam hati masing-masing personal. Kesadaran ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap orang mempunyai tingkat kepentingan yang berbeda. Satu orang memosisikan kesadaran berpendidikan sebagai harga mati, tetapi ada yang memosisikannya sebagai sesuatu yang remeh sehingga berpendidikan ataupun tidak, dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Dari hasil penelitian pihak pemerintah telah memberikan beberapa program agar anak-anak dapat melanjutkan pendidikannya namun masih ada yang tidak memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Faktor Ekonomi menjadi faktor ke dua; Suyanto (2003:7) mengungkapkan dalam banyak kasus, di kalangan keluarga miskin anak-anak biasanya bekerja demi meningkatkan penghasilan keluarga atau rumah tangganya. Kemudian Sarwono (2012:163) mengungkapkan bahwa kondisi sosial-ekonomi keluarga pun ternyata berpengaruh pada kegiatan anak dan remaja. Hal ini dapat berakibat anak atau remaja terpaksa ikut bekerja dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari agar dapat menyambung hidup. Menurut Kusnadi (2012:28) masalah-masalah diatas tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait satu sama lain. Misalnya, masalah kemiskinan. Masalah ini disebabkan oleh hubungan-hubungan korelatif antara keterbatasan akses, lembaga ekonomi belum berfungsi, kualitas SDM rendah, degradasi sumberdaya lingkungan.

Faktor Budaya Patriatik menjadi faktor ke tiga; Lingkungan sekolah terkadang juga menjadi faktor penghambat proses belajar. Sarwono (2012:150) mengungkapkan pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disamping mengajarkan keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya. Kondisi sekolah sangat diharapkan dapat terbentuk dengan norma yang lebih kekeluargaan dan kenyamanan untuk semaksimal mungkin mampu memberi pengajaran dan pendidikan.

Dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diungkapkan bahwa pendidikan Indonesia adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi individu demi tercapainya kesejahteraan pribadi, masyarakat dan negara. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan sebagai salah satu upaya dalam pencapaian kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan.

Selain pertumbuhan ekonomi sebagai syarat dalam pengentasan kemiskinan, Haughton dan Shahidur (2010:157) menyebutkan bahwa pendidikan juga memiliki konstribusi dalam mengentaskan kemiskinan. Beberapa indikator biasanya digunakan untuk menyebutkan kontribusi pendidikan dalam sebuah analisis standar hidup rumah tangga. Indikator tersebut adalah tingkat pendidikan, ketersediaan layanan pendidikan, dan penggunaan layanan tersebut oleh anggota keluarga miskin dan non miskin.

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan formal diberlakukan beberapa jenjang, antara lain jenjang dasar, menengah dan tinggi. Tingkat pendidikan atau juga disebut oleh Rohman (2009:223) sebagai jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditentukan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan pendidikan yang akan dicapai, dan kemampuan peserta didik yang akan dikembangkan.

Setiap tingkat atau jenjang pendidikan memiliki karakteristik yang berbeda, semakin tinggi jenjang pendidikan maka perkembangan dan kemampuan peserta didik akan semakin tinggi pula. Jenjang atau tingkat pendidikan yang tinggi dengan kompetensi yang tinggi pula akan mempermudah sesorang dalam memperoleh pendapatan yang tinggi, dengan begitu akan kebutuhan minimum akan tercukupi dan terhindar dari kondisi miskin. Dengan kata lain ketika tingkat pendidikan masyarakat tinggi maka tingkat kemiskinan pun dapat menurun.

Kesadaran akan pendidikan / Awareness of Education dari masyarakat akan sangat berperan dalam pengentasan kemiskinan walaupun bukan pengentasan kemiskinan secara instan dan sesaat. Kesadaran pendidikan ini walaupun prosesnya membutuhkan waktu yang lama namun akan lebih memberikan solusi pengentasan kemiskinan yang lebih bertahan lama dan tidak melahirkan generasi baru dalam hal kemiskinan.***

Daftar Pustaka

1.         Kuningan Dalam Angka 2020; https://kuningankab.bps.go.id/publication/2020/04/27/bba2900b4c2d216186685322/kabupaten-kuningan-dalam-angka-2020.html).

2.         Qomar Mujamil. 2012. Kesadaran Pendidikan. Ar-Ruzz Media : Jogjakarta

3.         Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

4.         Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka

5.         Saroni, Mohammad. 2010. Orang Miskin Harus Sekolah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

6.         Suyanto, Bagong. 2003. Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya.Surabaya: Airlangga University Press.

7.         Kusnadi.2012. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir.Yogyakarta: ArRuzzMedia

8.         Haughton, Jonathan dan Shahidur. (2010) Handbook on Proverty and inequality. New York: World Bank

9.         Rohman, A. (2009) Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LBM

Penulis : Asep Hermansyah, S.ST (Statistisi Muda di BPS Kabupaten Kuningan)

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Menurunkan angka kemiskinan adalah agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025). Agenda Pembangunan Milenium ini menjadi selaras, dimana...

Advertisement
Exit mobile version