KUNINGAN (Mass) – Dalam menyikapi fenomena baru arisan brondong dan threesome di Kuningan, para wakil rakyat mengelus dada. Bahkan kebanyakan masih ragu fenomena tersebut menggejala di kabupaten bervisi Mandiri Agamis Sejahtera (MAS) ini.
“Kalau itu benar ada, tentu saya sangat prihatin. Masa pola kehidupan seperti itu terjadi di Kuningan bervisi agamis. Itu kan gaya wanita sosialita, yang kelebihan uang, seperti pengusaha besar atau istri pengusaha,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPRD, H D Rusliadi MSi, kepada kuninganmass.com Jumat (7/4/2017).
Fenomena tersebut, lanjut Abah (sapaan akrabnya), biasanya diawali kesepian, iseng atau uang berlebihan. Ia pun merasa merasa ragu apakah betul di Kuningan ada fenomena seperti itu. Bagi Abah, hal tersebut jadi pertanyaan besar.
“Saya khawatir Cuma hoax. Makanya diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi masalah ini. Jangan-jangan kalau kita ramaikan akan menjadi pancingan kepenasaran, lantas jadi mode, yang tadinya gak ada jadi ada. Yang tadinya hanya kelompok 2 atau 3 orang, malah jadi menjamur karena penasaran,” ucapnya.
Untuk itu, politisi asal PDIP ini mengimbau pemerintah daerah khususnya Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan, agar jeli terhadap informasi tersebut. Jika terindikasi ada maka harus segera mengambil langkah. Sama halnya dengan institusi lain seperti kepolisian.
“Yang dikhawatirkan, jangan-jangan ada PNS di dalamnya. Kalau diawali dengan iseng, biasanya berkelompok. Satu orang berduit, yang lainnya kebawa-bawa. Kayak narkoba, lingkungan yang bergeraknya. Diam-diam tak terasa, dari hanya 2 orang menjadi 3 sampai 5 orang,” ungkap mantan birokrat itu.
Penularan narkoba, imbuhnya, biasanya berawal dari pertemanan. Awalnya malu-malu, mencoba karena penasaran, berikutnya kecanduan. Tidak menutup kemungkinan fenomena arisan brondong dan threesome pun demikian jika memang terjadi.
Abah Rusli menegaskan, ini menyangkut moral anak bangsa. Jangan sampai fenomena seperti itu jadi budaya yang bisa meracuni generasi muda berikutnya. Ia bersyukur jika hal itu hanya sekadar hoax sehingga tidak menjadi obrolan masyarakat. Sebab jika sudah seperti itu maka masyarakat akan terpancing untuk mencobanya.
“Kalau memang ada, jelas ini bisa mempercepat penularan HIV/AIDS. Dinas sosial dan komisi penanggulangan HIV/AIDS serta para pihak terkait lainnya, mesti segera melangkah. Terus terang prihatin, saya sih berharap tidak ada,” ucapnya.
Apabila dalam mengambil tindakan ternyata fenomena tersebut terjadi, pelaku harus dibina agar tidak menjadi budaya. Akan sangat ironis jika kota kecil, kota wisata dan kota agamis seperti Kuningan ada budaya masyarakat seperti itu. Jelas kontraproduktif dengan misi dan visi daerah.
“Nanti juga kita akan meminta penjelasan SKPD terkait. Jangan seperti gudang infus. Awalnya hanya sekadar info, ternyata bener juga. Sehingga dinas terkait jangan tinggal diam. Dinas jangan terjebak kegiatan rutin, tapi gejala sosial yang mengarah pada kerusakan lingkungan tak terperhatikan,” pungkasnya. (deden)