Menegakkan Partisipasi Inklusif dan Orientasi Manfaat dalam Pembangunan Desa
Kebutuhan riil masyarakat desa masih kerap menjadi misteri dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Musyawarah dusun dan musrenbangdes, yang semestinya menjadi ruang demokratis untuk menyerap aspirasi warga, masih didominasi oleh segelintir orang atas nama tokoh masyarakat. Akibatnya, perencanaan desa belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan nyata warga.
Kelompok rentan, warga miskin, petani kecil, penyandang disabilitas, perempuan, dan pemuda, sering tidak mendapatkan tempat bicara yang setara. Padahal, dalam pandangan filsafat politik klasik, keadilan bukan sebatas memberikan porsi yang sama, tetapi memberikan perhatian lebih kepada pihak yang membutuhkan agar mereka dapat mencapai kehidupan yang baik ( the good life ), sebagaimana pernah dimaknai oleh Aristoteles dalam konsep polis dan keutamaan.
Lebih jauh, kita perlu memahami karakter sebagian warga desa yang tidak terbiasa atau tidak mampu menyampaikan aspirasinya di forum formal. Mereka bukan tidak memiliki kebutuhan, melainkan kultur, keterbatasan kapasitas, dan rasa sungkan membuat mereka memilih diam. Paulo Freire menyebut kondisi itu sebagai “ bisu sosial”: ketidakmampuan struktural untuk berbicara dalam ruang kekuasaan. Karena itu, penggalian aspirasi tidak bisa hanya mengandalkan rapat formal; perlu pendekatan khusus, dialog humanis, dan jemput bola untuk memastikan suara mereka tidak hilang.
Pada titik inilah desa harus lebih cerdas dalam mengalokasikan Dana Desa. Pembangunan tidak cukup hanya berorientasi pada pengeluaran dan pelaporan vertikal, seolah keselamatan administratif lebih penting dibandingkan kebermanfaatan sosial. Desa perlu bergerak dari sekadar compliance menuju conscious development, pembangunan yang sadar tujuan, sadar nilai, sadar manfaat. Setiap rupiah harus bermuara pada peningkatan kualitas hidup, bukan hanya menutup buku laporan.
Dalam perspektif etika publik, anggaran adalah moralitas yang ditulis dalam angka. APBDes bukan sekadar tabel belanja, melainkan representasi keberpihakan, keberanian, dan kesadaran keadilan sosial. Ketika desa berani menempatkan kemanusiaan sebagai fondasi kebijakan, maka pembangunan tidak lagi menjadi rutinitas birokrasi, melainkan jalan menuju martabat kolektif.
Desa maju bukan hanya karena besar anggarannya, tetapi karena tajam moralitasnya dan jernih kesadarannya akan amanah. Inklusi bukan aksesori, melainkan prinsip. Keberpihakan bukan jargon, tetapi jalan.
Saat desa memilih mendengar yang tak terdengar dan melihat yang kerap tak terlihat, di sanalah sesungguhnya pembangunan dimulai.
Oleh: Dadan Satyavadin, Pemerhati Kebijakan Publik
