Oleh : Listiana
Mana yang Sengkuni
Yang paling kau benci
Berkacalah di cermin sunyi
Apa bukan wajahmu sendiri
Polah tingkah Sengkuni
Kutu loncat Sengkuni
Sana sini Sengkuni
Mana yang bukan Sengkuni
Iri dengki Sengkuni
Hati kita sehari-hari
Hasat hasut Sengkuni
Isi dada kita sendiri
Sengkuni berapa jumlahnya
Yang merusak Negeri ini
Susah membayangkannya
Bahwa ada yang bukan Sengkuni
Yang berujar kebencian
Pastilah Sengkuni
Yang melawan dan menghadang
Ternyata juga Sengkuni
Kalau bicara selalu dusta
Kalau berjanji mengingkari
Kalau dipercaya mengkhianati
Harus menjaga malah mencuri
Yang mana Sengkuni
Mana yang bukan Sengkuni
Di panggung Negeri ini
Sengkuni harga mati
Sebuah puisi yang menelisik jiwa dari Emha Ainun Nadjib
Dikutip dari CakNun.com 08 Maret 2019 “Sengkuni Harga Mati”
Sengkuni di tatar sunda lebih dikenal dengan nama “Resi Dorna”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dorna diartikan sebagai orang yang suka menghasut atau membangkit perselisihan, mengadudombakan dan sebagainya. mendornai/men•dor•nai/ , menghasut; membangkitkan perselisihan.
Di dunia nyata ini atau mungkin di sekeliling kita banyak sengkuni-sengkuni “junior”, bahkan mungkin kita termasuk di dalamnya, hanya saja kita jarang bercermin, kita lebih sering meneliti, menelisik dan memperhatikan hidup orang daripada “berkaca” dan menelisik ke dalam jiwa kita.
Atas nama rezim, atas nama kepentingan, kehendak, tahta, harta dan pengakuan, sadar atau tidak sadar kita mencoba bicara pada mereka-mereka yang kebetulan sedang diberi pinjaman “kekuasaan” oleh Sang Maha, bicara dengan menciptakan tokoh antagonis versi kita.
Kita dengan gamblangnya bicara si X begitu antagonis hingga sedemikian rupa, hingga munculah kebencian dan perilaku antipati pada si X tersebut. Peran antagonis itu kita ciptakan bagi mereka-mereka yang kita anggap ancaman bagi kita, bagi kepentingan dan hasrat kita.
Lalu berlakulah keadaan terpuruk, terpinggirkan, tertepikan bagi si antagonis ciptaan kita itu. Lalu kita bersorak sorai atas nama “pengakuan rezim”, akses mudah, hasrat terpuaskan, mau apa saja tinggal “lapor”, kita tidak akan bertemu dengan “lapar”, “takut”, “sedih” , atau “susah”.
Copy Paste banyak sekali kita temukan akhir-akhir ini, plagiarism marak dilakukan. Tapi haruskah kita copy paste juga pada “pola sengkuni”? dan lalu pertanyaannya benarkah Sengkuni sejahat kita?
Mengutip pernyataan Caknun: “Sifat Sengkuni tidak sejahat para teroris yang membunuh banyak orang. Ia hanya senang menjadi provokator untuk memanaskan suasana. Karakter jahat Sengkuni dibentuk oleh keadaan. Ia terpaksa memakan 98 orang saudaranya dan orangtuanya demi keselamatan keluarga. Dia menjadi jahat karena dipaksa makan, untuk regenerasi untuk kehormatan keluarga, harus hidup dengan cara makan adik-adiknya.
Terus kalian menjadi Sengkuni atas penderitaan apa? Kamu pernah susah apa hidupmu? Kamu pernah nggak makan? Kamu pernah makan ibumu? Kamu pernah menderita sampai seperti itu? Kamu atas nama penderitaan yang bagaimana sih sampai kamu jahat kepada rakyat? Apa alasan sejarahmu? Kalau Sengkuni ada alasan untuk jahat, meskipun kejahatannya tidak sepadan sama sekali atas penderitaannya. Kamu pernah menderita apa? kamu pernah miskin apa? Kamu pernah puasa kayak apa? kamu pernah tirakat apa? Kamu lancar-lancar semua kok. Apa alasanmu untuk jahat kepada rakyat? Sengkuni saja tidak sejahat kamu, padahal dia penderitaannya ribuan kali lipat dibandingkan hidupmu” Suara.com/ 07 Oktober 2019.
Catatan akhir dari penulis, jika sukses adalah karna pengakuan semata, jika bahagia adalah harta dan tahta belaka, lalu kenapa masih banyak “insomnia” diantara kita? Masih ada stress yang mendera hari-hari kita? Jangan-jangan si antagonis yang kita ciptakan itu malah tidur dengan nyenyaknya, hidup dengan damai dan tenangnya bersama dengan “dunia kecilnya” yang menggairahkan sekaligus melindunginya dari sengkuni-sengkuni “menyedihkan” seperti kita?
Haruskah kita berhenti dan taubat masal untuk tidak lagi jadi Sengkuni? Karena kalau diingat, setiap tokoh antagonis yang kita ciptakan pasti bukan terlahir dari batu, dia pasti punya ayah dan ibu, punya saudara, atau bahkan punya “keturunan” yang akan turut terluka saat dia juga kita lukai? Atau kita abaikan saja? Karna itu orang lain, yang penting bukan kita, kita nikmati saja sesi hidup kita yang sedang “lucu-lucunya” ini.***