KUNINGAN (MASS) – Aksi damai sebenarnya merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk memprotes/mengusulkan suatu keputusan atau kebijakan pemerintah yang dirasakan bertentangan dengan sistem atau tata cara penyelenggaraan pemerintahan di desa. Sesuai dengan namanya, maka aksi damai tentunya dilakukan dengan cara-cara tanpa kekerasan dan selalu mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan tentunya hukum dalam hal aksi damai.
Kepala Desa dan Perangkat Desa yang tergabung dalam Aliansi Desa Ngahiji (ADN) yang terdiri dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Rumah Sadulur Kuningan, Forum Kasi Pemerintahan dan Forum Kaur Perencanaan yang akan melakukan aksi damai pada hari Senin tanggal 5 Mei 2025, harus memperhatikan substansi permasalahan yang ingin diperjuangkan, sehingga tidak terkesan asal aksi damai. Artinya Pemerintah Desa paham apa yang sangat urgen dibutuhkan saat ini untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa.
Terlepas dari pro dan kontra, aksi damai ini adalah suatu realita yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menangani hal ini dengan cara-cara yang elegan dan melakukan suatu pendekatan kekeluargaan/persuasif. Bukan dengan cara menantang bahkan mengancam, hal ini malah akan makin memicu munculnya aksi damai yang lebih masif lagi bahkan sampai unjuk rasa besar-besaran.
Pendekatan yang dapat diambil sebenarnya sangatlah sederhana. Kedua belah pihak sebaiknya menghindari suatu tindakan atau cara-cara yang memaksakan kehendak. Carilah titik temu melalui audensi. Hal ini sangatlah penting, karena aksi damai dapat berubah menjadi suatu tindakan yang anarkis jika kita salah menanganinya. Tentunya kita harus yakin bahwa masih ada pihak yang tetap memiliki kebijaksanaan dan selalu mencari suatu “win-win solution” sehingga kemenangan bersamalah pada akhirnya yang didapat. Apalagi sejak tahun 2014 baik Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Desa sama-sama sedang melaksanakan Undang-undang.
Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten harus paham bahwa Desa merupakan sebuah pemerintahan lokal yang memiliki beragam identitas dan karakteristik serta kearifan lokal. Berbagai unsur kehidupan masyarakat berawal dari sini. Desa sebagai salah satu bagian suatu negara yang memiliki karakteristik yang sama sebagai lingkungan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Desa diatur oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang tertuang didalam ketentuan pasal 200 hingga pasal 216 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 selanjutnya dari 17 pasal pada UU no. 32 tahun 2004 inilah maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Tetapi sejak tahun 2014 Pemerintah dengan DPR telah memecah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi 3 (tiga) Undang-undang yakni :
1. Undang-undang no. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur Desa.
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.
3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mengatur Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Dengan dipecahnya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menjadi 3 (tiga ) Undang-undang, maka secara ketatanegaraan Desa bukan lagi bagian (bawahan) dari Pemerintah Kabupaten karena sudah sama-sama melaksanakan undang-undang, meski secara kewilayahan Desa berada di wilayah Kabupaten. Perlu diketahui bahwa Kepala Desa dan Bupati memiliki kesamaan, keduanya dipilih langsung oleh rakyatnya. Oleh karenanya, pola hubungan antara Kepala Desa dan Bupati bersifat koordinatif. Undang-Undang Desa memberikan mandat bahwa Pemerintahan Desa sebagai gabungan fungsi antara masyarakat yang berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government).
Kepala Desa merupakan pemimpin masyarakat yang berfikir, berbicara, dan bertindak berdasar kepentingan masyarakat Desa. Disisi lain Bupati adalah menyelenggarakan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Pemerintahan Desa. Sedangkan dalam konteks pemerintahan lokal, posisi Kepala Desa adalah sebagai kepala organisasi pemerintahan paling kecil dan paling bawah dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disitu Kepala Desa adalah menjalankan tugas-tugas yang mengintegrasikan Desa kedalam sistem kepemerintahan Nasional. Oleh karena itu Desa merupakan potret sebuah negara.
Kepala Desa dan Perangkat Desa harus menjadi gudang idealisme, harus lahir dari satu dapur pergerakan yang dimulai dari penguatan substansi idealisme Pemerintahan Desa. Sehingga tidak mudah dipecah-pecah dan terkesan sebagai ajang rebutan panggung gaya politisi. Jika substansi yang diperjuangkan tidak dipahami, maka gerakan yang diperjuangkan akan sia-sia belaka.***
T. Umar Said (Anggota DPC APDESI KABUPATEN KUNINGAN Bidang Hukum dan Perundang-undangan)