Connect with us

Hi, what are you looking for?

Netizen Mass

Agama, Feodalisme, dan Korupsi: Mengapa Masyarakat Religius Tetap Melanggengkan Ketidakadilan?

Kontradiksi Masyarakat Religius dan Praktik Korupsi

Indonesia dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang religius, di mana agama memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari urusan administratif kependudukan hingga pengambilan keputusan politik, ritual keagamaan, simbol-simbol religius, dan nilai-nilai moral sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan publik. Agama tidak hanya hadir dalam ruang privat, tetapi juga merambah ke ruang publik, memengaruhi kebijakan, norma sosial, bahkan dinamika kehidupan sehari-hari.

Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2022. Ironisnya, di saat yang sama, survei Pew Research Center menunjukkan bahwa 93% masyarakat Indonesia menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah masyarakat Indonesia benar-benar religius, atau hanya tampak religius di permukaan? Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menyamaratakan semua individu, melainkan untuk mengajak kita berefleksi tentang bagaimana agama dipahami dan dijalankan dalam konteks sosial yang lebih luas.

Agama yang Dijalankan Hanya Sebatas Permukaan

Salah satu penyebab kontradiksi ini adalah pemahaman agama yang berakar pada lapisan luarnya saja sehingga banyak orang menjalankan agama sebatas “identitas”—sekadar label yang melekat pada dirinya—tanpa upaya untuk memahami esensi spiritual atau nilai-nilai moral yang seharusnya dihayati. Agama lebih sering tampil sebagai simbol daripada proses pemaknaan dan evaluasi diri yang membimbing seseorang dalam menjalani hidup.

Ambil contoh sedekah. Banyak orang di Indonesia rajin bersedekah, dan ini tentu sebuah kebiasaan yang patut diapresiasi. Namun, menarik untuk menelisik lebih jauh: apa sebenarnya motivasi di baliknya? Sebagian besar percaya bahwa dengan bersedekah, rezeki mereka akan berlipat ganda. Apakah ini salah? Tentu tidak. Namun, apakah motivasi ini cukup untuk mendorong keresahan personal? Sehingga membuat kita merenungkan makna sedekah yang sesungguhnya, apa tujuannya, dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat secara luas?

Pada dasarnya, konsep sedekah serupa dengan rantai ekonomi. Jika kita memberi makan seseorang yang lapar, ia akan memiliki tenaga untuk bekerja. Jika ia bisa bekerja, maka perputaran ekonomi terjadi. Singkatnya, apa yang kita keluarkan akan kembali, bukan sebagai imbalan supernatural, tetapi sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab sosial. Sayangnya, banyak orang tidak memahami—atau mungkin menolak memahami—pemikiran ini karena mereka lebih nyaman dengan perspektif pahala dalam beragama.

Mentalitas “rewarding” inilah yang kemudian melahirkan cara berpikir “timbang-menimbang”—seolah-olah amal ibadah bisa mengimbangi dosa, termasuk korupsi. Dalam pola pikir ini, korupsi bukan lagi persoalan moral, tetapi sekadar kalkulasi: seberapa besar dosa yang bisa “ditutup” dengan ibadah? Misalnya, seorang koruptor, meskipun terlibat dalam penyelewengan dana publik, seringkali mendapat pembenaran dari sebagian pihak yang menilai kontribusi mereka dalam kegiatan keagamaan sebagai alasan untuk meredam kritik terhadap tindakan mereka.

Sikap ini mengingatkan pada pernyataan Taufiq Pasiak, peneliti neurosains dan perilaku sosial, yang menyatakan, “Manifestasi spiritualitas dan religiositas seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengendalikan diri, membuat keputusan bijaksana, serta memaknai setiap tindakan yang diambil, baik yang berdampak positif bagi dirinya maupun orang lain.” Dengan kata lain, sikap pemakluman terhadap tindakan tersebut bisa dipahami sebagai akibat dari kurangnya pemaknaan mendalam terhadap religiositas yang mereka anut. Jika ditarik lebih jauh, pemaknaan tersebut lahir dari kurangnya kesadaran akan prinsip kesetaraan yang seharusnya menjadi inti dari ajaran agama, yang menekankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Hierarki Religius dan Budaya Kekerasan

Fenomena ini semakin kompleks ketika agama tidak hanya menjadi alat pembenaran individu, tetapi juga membentuk struktur sosial yang hierarkis. Hierarki ini menciptakan kesenjangan antara moralitas yang tampak dan moralitas yang dijalani. Atribut keagamaan—seperti pakaian, gelar, atau simbol—sering dijadikan standar penghakiman terhadap seseorang. Tanpa disadari, hal ini menjadi akar budaya kekerasan, baik verbal maupun fisik.

Ketika agama direduksi menjadi sekadar identitas eksternal, esensi spiritualnya terkikis. Banyak orang lebih fokus membangun citra ketimbang menjalani nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata. Moralitas pun berubah menjadi performatif—bukan tentang bagaimana seseorang hidup dalam kebaikan, tetapi bagaimana ia tampak saleh di mata orang lain. Hierarki ini juga memiliki dampak psikologis yang berbahaya: mereka yang merasa lebih religius cenderung menempatkan diri di posisi superior. Dengan merasa lebih “bersih,” mereka menjadi lebih permisif terhadap kesalahan diri sendiri, termasuk dalam hal-hal seperti korupsi. Sebuah ironi besar terjadi—seseorang bisa merasa benar karena ibadahnya, tetapi di saat yang sama mengabaikan kerusakan yang ia timbulkan terhadap orang lain.

Dari sinilah muncul justifikasi atas tindakan represif yang dilakukan atas nama agama. Kita sering melihat kelompok tertentu mengusir orang yang tidak berpuasa dari warung dengan kasar, atau seseorang dengan enteng berkata, “Kamu belum punya anak, berarti belum dipercaya sama Allah.” Ucapan semacam ini terdengar religius, namun sebenarnya adalah bentuk kesewenang-wenangan. Jika Tuhan benar-benar memberikan “kepercayaan” kepada seseorang untuk memiliki anak, bagaimana kita menjelaskan kasus seorang ayah yang merudapaksa anak kandungnya sendiri? Agama, dalam esensinya, seharusnya menjadi sarana refleksi dan penyelidikan diri. Namun, ketika ia lebih banyak digunakan sebagai alat pembenaran dan pelampiasan otoritas atas kontrol diri yang tidak pada tempatnya, ia kehilangan fungsinya sebagai panduan moral.

Hukum yang Tidak Setara dan Feodalisme dalam Status Quo

Selain pemahaman agama yang dangkal, ketimpangan hukum dan budaya feodalisme juga memperkuat status quo yang memungkinkan korupsi tetap subur dalam masyarakat religius.

Di Indonesia, hukum sering kali tidak bekerja secara adil. Kasus korupsi kelas kakap yang melibatkan pejabat tinggi berakhir dengan hukuman ringan, bahkan dengan berbagai fasilitas di dalam penjara. Sementara itu, pelanggaran kecil yang dilakukan rakyat biasa—seperti mencuri karena kelaparan—bisa berujung pada hukuman berat. Ketidaksetaraan ini menciptakan persepsi bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Contohnya, kasus korupsi dana haji yang melibatkan pejabat Kementerian Agama. Meskipun kasusnya besar, hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

Di sisi lain, feodalisme masih berakar kuat dalam budaya politik dan sosial Indonesia. Struktur kekuasaan yang cenderung hierarkis menyebabkan loyalitas kepada individu lebih diutamakan dibandingkan kepada prinsip, kepercayaan, dan integritas. Dalam lingkungan seperti ini, tindakan korupsi tidak hanya menjadi hal yang ditoleransi, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang diterima.

Ketika agama bertemu dengan feodalisme, lahirlah justifikasi bahwa pemimpin—terutama jika mereka memiliki citra religius—pantas dihormati tanpa syarat, meskipun mereka jelas-jelas melakukan kesalahan. Dalam konteks ini, citra religius seseorang menjadi senjata yang memperkuat budaya impunitas, di mana tokoh berpengaruh dapat menghindari pertanggungjawaban hanya karena mereka dianggap “tokoh agama” atau “orang baik.” Sebagai contoh, kasus pimpinan pondok pesantren yang diduga terlibat tindakan asusila, namun dalam proses penangkapannya mengalami hambatan karena tekanan dari para santri yang merasa perlu membela citra keagamaan sang tokoh.

Agama Sebagai Jembatan Menuju Keadilan

Pada akhirnya, kombinasi antara pemahaman agama yang dangkal, ketimpangan hukum, dan budaya feodalisme menciptakan masyarakat di mana korupsi terus bertahan. Bukan karena masyarakat tidak memiliki kesadaran moral, tetapi karena mereka melihat sistem ini memang mengizinkan tindakan tersebut terjadi, bahkan sistem ini seolah terbuka lebar dalam berbagai ruang kehidupan sehari-hari.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ironisnya, agama yang seharusnya menjadi kekuatan pembebasan terutama tentang kesetaraan, justru sering digunakan untuk meneguhkan struktur sosial yang tidak adil. Namun, jika kita menengok kembali teladan Nabi Muhammad SAW, kita akan menemukan contoh nyata bagaimana agama seharusnya digunakan sebagai jembatan menuju keadilan dan kesetaraan. Nabi Muhammad tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga membawa misi transformasi sosial yang berkelanjutan. Beliau memperjuangkan keadilan bagi kaum mustadh’afin (yang tertindas), menghapuskan praktik feodalisme, dan menegakkan prinsip kesetaraan di tengah masyarakat yang sebelumnya terbelah oleh kelas, suku, dan status sosial.

Salah satu contoh nyata adalah Piagam Madinah, yang dibuat oleh Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan antarkelompok di Madinah. Piagam ini tidak hanya menjamin kebebasan beragama bagi semua kelompok, tetapi juga menegaskan prinsip keadilan dan persamaan di depan hukum. Nabi Muhammad juga menolak segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan suku atau status sosial. Dalam salah satu khutbahnya, beliau menyatakan, “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas orang Arab, kecuali berdasarkan ketakwaan.”

Selain itu, Nabi Muhammad juga mencontohkan integritas dan kejujuran dalam mengelola kekayaan publik. Beliau dikenal sebagai Al-Amin (yang terpercaya) bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Ketika memimpin, beliau memastikan bahwa harta umat dikelola dengan transparan dan adil, tanpa ada ruang untuk korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, beliau menolak memberikan fasilitas khusus kepada keluarganya sendiri, karena khawatir hal itu akan menciptakan ketidakadilan bagi umat.

Teladan Nabi Muhammad ini seharusnya menjadi inspirasi bagi masyarakat religius untuk menggunakan agama sebagai jembatan menuju pembebasan, bukan justifikasi atas ketidakadilan. Agama seharusnya mendorong kita untuk memerangi korupsi, feodalisme, dan segala bentuk ketimpangan, bukan melanggengkannya.

Mengembalikan Agama pada Fungsinya

Pada akhirnya, agama dan perilaku sosial harusnya menjadi satu kesatuan yang terpadu, sebuah sikap yang muncul secara alamiah, bukan hanya sebagai bentuk pemenuhan ekspektasi atau citra. Dengan meneladani Nabi Muhammad, kita dapat mengembalikan agama pada marwahnya: sebagai kekuatan pembebasan yang membawa keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan bagi seluruh umat manusia.***

 

Penulis : Gema Ganeswara (Pemerhati Sosial)

Gema Ganeswara adalah fotografer asal Kabupaten Kuningan yang mengenal fotografi sejak duduk di bangku SMA. Ia telah mengikuti berbagai program fotografi, termasuk One Year Mentorship: Panna Future Talent (Panna Foto Institute), How To Find Personal Style bersama Arum Dayu, serta beberapa sesi photo review dengan Beawiharta (Reuters), Bismo Agung (Beritagar), dan Yasuyoshi Chiba (World Press Photo), Davy Linggar (Commercial Photographer). Selain itu, ia juga mengikuti workshop pembuatan buku foto bersama Raws Photo Syndicate.

Karyanya telah dipamerkan di dalam maupun luar negeri, termasuk dalam pameran kelompok Familiar Stranger dan Happening Happenstance di Tokyo, Jepang. Ia juga berkontribusi dalam buku Anarchy I & II, Familiar Stranger, dan Happening Happenstance, yang diterbitkan oleh Ephemere, Jepang. Di luar itu, Gema aktif merilis photozine secara mandiri, di antaranya 27 (2024), A Passing Glimpse: 6 Days in South Korea, Elusive Journey, Strangely Familiar, dan Eerie Lane (2025). Kuningan Biennale (2024), Pameran seniman muda Kuningan (2025)

Saat ini, ia mengelola usaha makanan ringan dan sarapan bernama Nona Ringan, sembari terus mengerjakan proyek fotografi personal jangka panjangnya, The Place Where The Sun Doesn’t Exist But Our Love Is Eternal. Proyek ini mengeksplorasi  berbagai tempat di tanah kelahirannya, Kuningan, dalam perjalanan menuju self-discovery. Selain berfotografi,  sesekali menghabiskan waktu dengan menulis.

 

 

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Law

KUNINGAN (MASS) – Pasca menetapkan tersangka dugaan korupsi di UPK Cibingbin baru-baru ini, kini Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuningan menetapkan 3 orang sebagai tersangka dalam...

Law

KUNINGAN (MASS) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuningan menetapkan dua orang mantan pengurus UPK Maju Bersama Cibingbin sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi yang terkait...

Law

KUNINGAN (MASS) – Kasus korupsi UPK Amanah Luragung memasuki babak baru. Tim Penyidik Kejaksaan Negri (Kejari) Kuningan, resmi menyerahkan tersangkanya ke Tim Jaksa Penuntut...

Headline

KUNINGAN (MASS) – Tim Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuningan, bersama Seksi Intelijen, menyerahkan mantan Kuwu Sigaranten Kecamatan Ciwaru ke Lapas...

Headline

KUNINGAN (MASS) – Terjadi keributan antara masyarakat dan pengelola bansos saat mediasi permasalahan distribusi bansos di Kantor Kepala Desa Sukadana, Kecamatan Ciawigebang pada Senin...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Pernyataan tajam dan kontroversial dari Rocky Gerung (RG) tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan masyarakat. Segelintir orang meminta agar...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Di dunia ini, dalam sistem pemerintahan, muncul berbagai penyalah guna baik  sengaja maupun tidak sengaja. Pejabat yang berkuasa sering menyalahgunakan kekuasaan...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Islam adalah agama yang memberikan peran penting bagi perempuan. Terdapat berbagai pandangan dan pemahaman mengenai peran perempuan dalam Islam, namun faktanya,...

Headline

KUNINGAN (MASS) – Tersangka tindak pidana korupsi PT Pegadaian Cabang Cilimus, resmi ditahan hari ini, Rabu (11/1/2023) oleh Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Beberapa hari yang lalu, dimuat sebuah tulisan tentang moderasi beragama yang digulirkan oleh Kementerian Agama, bahwa ia adalah racun sekularisme. Pada...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Hari anti korupsi ialah hari yang diperingati setiap tanggal 9 Desember untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan korupsi....

Anything

KUNINGAN (MASS) – Puluhan pasangan yang sudah menikah secara agama, sudah jadi pengantin (sirri), mengikuti Sidang Isbat Nikah Massal hari ini, Jumat (11/10/2022) pagi...

Headline

KUNINGAN (MASS) – Ketua Gardah Kabupaten Kuningan yang juga sekretaris DPD Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia Kab. Kuningan, Dadan Somantri Indra Santana SH, turut mengomentri...

Government

KUNINGAN (MASS)-  Rabu (5/5/2021) ditelah digelar  persidangan ke – 7 Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Tipikor Bandung dengan agenda Pemeriksaan Saksi dan Ahli...

Headline

KUNINGAN (MASS) – Setelah pihak Kejari Kuningan melakukan jumpa pres terkait kasus korupsi Kepala SMKN I Luragung yang sudah P21. Kamis (25/2/2020) giliran Satreskrim...

Anything

KUNINGAN (MASS) – Genderang perang melawan korupsi ditabuhkan oleh LBH (Lembaga Bantuan Hukum) ELIT yang berlokasi di Desa Margasari Kecamatan Luragung. Konsen LBH tersebut...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Kadang saya berpikir kenapa manusia membunuh hanya karena alasan remeh temeh. Ya, saya beberapa kali membaca berita pembunuhan dengan motif yang...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Baru saja menonton Gundala. Secara Storytelling film ini sangat memukau meskipun bukan hal baru jika Joko Anwar memiliki keistimewaan dalam storytelling....

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Investasi merupakan salah satu jalan keluar untuk mensejahterakan masyarakat, karena dengan Investasi maka pendapatan masyarakat meningkat. Tantangan investasi adalah perizinan, mulai...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Maraknya OTT yang dilakukan oleh KPK dan Saber Pungli menunjukan indikator bahwa program pemberantasan korupsi, khususnya pungutan liar masih belum optimal....

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Pada dasarnya kita ini tinggal di Negara Indonesia dimana yang mempunyai banyak keragaman dari budaya, suku, dan agama itu sendiri. Keragaman...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Korupsi selalu menjadi masalah yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia, tak terkecuali dengan Indonesia. Kasus korupsi di Indonesia kian hari...

Netizen Mass

Oleh : Dede Farhan Aulawi Saat berbicara korupsi maka secara aklamasi pasti orang sependapat bahwa perilaku korupsi adalah sesuatu yang jelek, harus diberantas dan...

Social Culture

KUNINGAN (MASS) – Pada acara diskusi Pusaka Pemuda (11/12/2018), seorang pemerhati sosial politik, Eman Sulaeman MAg mensinyalir bahwa korupsi sudah mulai masuk ke ranah...

Government

KUNINGAN (MASS) – Pada kesempatan ini kita tidak lagi membahas korupsi secara terminologis, baik dari sisi pengertian, unsur – unsur maupun jenisnya, melainkan fokus...

Government

Oleh : Dede Farhan Aulawi Bahasan kita kali ini akan langsung fokus pada strategi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan khususnya terkait pungutan liar...

Advertisement
Exit mobile version