KUNINGAN (MASS) – Adanya isu tentang pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Panas Bumi atau geothermal di lereng gunung Ciremai telah menjadi perhatian berbagai pihak.
Geotermal yang dulu sempat di tolak berbagai elemen masyarakat di Ciayumajakuning pada tahun 2014 lalu, kini direncanakan untuk kembali di bangun.
Jika dulu yang menjadi tender pengeksploitasi ciremai adalah perusahaan swasta asing bernama Chevron, sekang pemerintah pusatlah yang akan mengelola eksploitasi panas bumi di ciremai ini melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalih dari eksploitasi ciremai tersebut masih sama yaitu ingin memanfaatkan potensi panas bumi ciremai untuk sumber listrik.
Walaupun kita tau bahwa listrik di area jawa-bali pada akhir tahun 2020 telah surplus sebesar 25,53 % atau 9600 MW.
Jumlah itu didapat dari selisih antara kapasitas pembangkit di Pulau Jawa-Bali sebesar 37.600 MW sementara Kebutuhan masyarakat akan listrik hanya 28.000 MW.
Selisih surplus sebesar itu yang tidak terpakai tetap harus di bayar PLN, yang akhirnya PLN terus merugi selaku pihak penyalur listrik dari berbagai pembangkit listrik yang didominasi swata.
Dan terbukti menurut catatan akhit tahun PLN, PLN harus menanggung kerugian sebesar 38,88 triliyun.
Ditengah surplus listrik di area Jawa-Bali ini, Pembangkit baru sedang dibangun tepatnya PLTU Unit II di Cirebon. Dan sekarang Pembangkit baru akan dibangun lagi di area gunung Ciremai. Hal itu jelas-jelas paradoks.
Tapi ada hal yang ingin penulis soroti dari kebijakan pembangunan tersebut yaitu adanya ancaman sanksi pada Bupati jika sampai menolak.
Statmen tersebut memang benar dan berdasar. Semenjak diterbitkannya UU CILAKA atau Cipta lapangan Kerja, berbagai kebijakan pembangunan terutama yang berlebel Proyek Pembangunan Strategis Nasional ditarik ke pusat. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 123 ayat 2.
Apakah itu salah? Jika kita masih mau mengakui reformasi dan amanat-amanat nya, maka jawabannya ya salah.
Reformasi jelas-mengamanatkan Otonomi daerah yang mana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan di daerahnya masing-masing.
Kenapa? Karena pemerintah daerah dan berbagai elemennyalah selaku warga asli daerah yang mengetahui seluk beluk permasalahan, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah.
Jika kebijakan semacam geotermal ini langsung ditarik ke pusat dan pemerintah daerah dilucuti kewenangannya dan pendapatnya.
Apakah itu artinya kita masih menjalankan amanat reformasi?
Dilucutinya kewenangan dan keleluasaan pemerintah daerah untuk menentukan dan mengatur kebijakan di daerahnya sendiri akan berdampak pada ketidaksesuaian kebijakan yang di ambil.
Dalam konteks pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal, kita bertanya, pertama apakah rakyat kuningan membutuhkan geotermal?
Padahal listrik yang ada saja masih surplus dan di Cirebon sedang dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU) II dengan kapasitas 1000 MW.
Kedua, geotermal memang bukan energi fosil yang menghasilkan emisi besar, tapi apakah geotermal ini juga tidak akan memberi dampak pada keberlangsungan hidup warga kuningan?
Geotermal memang tak membutuhkan energi fosil, tapi geotermal membutuhkan pasokan air yang sangat besar dalam proses ekstraksi. Air bertekanan tinggi di butuhkan untuk meyemprot dan memecah rekahan batuan dalam proses eksploitasi.
Kita tau bahwa Gunung Ciremai bagi masyarakat Kuningan adalah sumber kehidupan, dari Gunung Ciremai masyaralat kuningan memperoleh kecukupan hidupnya, melalui bertani dan mendapat air bersihnya.
Jika geotermal ini sampai beroperasi yang luas wilayah operasinya mencapai 38.560 hektar, maka air yang biasa mengalir ke rumah-rumah dan ladang pertanian masyarakat Kuningan akan berkurang.
Dan jelas akan menggangu kelangsungan hidup masyarakat Kuningan. Jika mau menghitung valuasi ekonominya mengenai manfaat Ciremai bagi masyarakat kuningan, jelas tak terbatas.
Amanat Reformasi telah dibajak, pemerintah dan wakil-wakil rakyat daerah telah dilucuti kewenangan dan kekuasaannya dalam menentukan kebijakan bagi kemaslahatan warganya.
Pimpinan daerah dan wakil rakyat sudah jelas tidak diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan di daerahnya.
Jikalau sampai pada masyarakat kuningan sendiri tidak diberi ruang untuk berdiskusi menentukan kebijakan di daerahnya, maka timbul pertanyaan yang paling mendasar, pembangunan ini untuk siapa?
Oleh : Haerul Jamal
Mahasiswa Studi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Cirebon
Anggota Ikatan Mahasiswa Kuningan Wil. Cirebon