KUNINGAN (MASS) – Tanggal 1 September 2025 menandai Kuningan yang menapaki usia barunya. Rumah kecil di kaki Gunung Ciremai ini resmi berusia 527 tahun, penggal waktu yang tidak pendek. Di usia setua itu, Kuningan bukan hanya kabupaten di selatan Cirebon, sejak dulu sinarnya begitu terang dan perannya besar dalam sejarah nasional.
Tidak akan ada Indonesia hari ini tanpa Kuningan. Kalimat itu bukan hiperbola. Di salah satu sudut Kuningan, tercatat babak penting sejarah bangsa yang membuka ruang kedaulatan di awal kemerdekaan. Di Linggarjati-lah Indonesia muda diakui sebagai negara berdaulat, meski dengan segala keterbatasan. Betapa daerah ini pernah begitu strategis menjadi halaman depan perjuangan nasional.
Gemerlap sejarah itu sejatinya tidak hanya menjadi cerita. Sinar yang dulu terpancar terang dari tanah ini harusnya jadi bekal semangat yang terus terpatri untuk menjemput kemajuan. Ketika hari jadi datang, pertanyaan pun menyeruak: Sejauh apa kita telah melesat maju? Bagaimana Kuningan meneguhkan diri menjawab tantangan zaman dengan langkah nyata?
Tanah Kaya Potensi Belum Terasah
Kuningan sejatinya adalah tanah dengan anugerah yang melimpah. Budaya yang kaya berpadu dengan masyarakatnya yang guyub dan toleran. Modal sosial ini sejatinya adalah fondasi kuat untuk membangun daerah.
Alam Kuningan pun tak kalah memikat. Gunung Ciremai menjulang sebagai sumber air sekaligus ikon wisata, didampingi telaga, curug, dan lembah yang tersebar di berbagai penjuru. Kebun raya terluas di Pulau Jawa pun ada di sini. Kekayaan pertanian, serta kerajinan lokal yang terus berkembang, memberi peluang ekonomi yang bisa mengangkat nama Kuningan. Potensi ini, bila dikelola serius, dapat menjadi mesin pertumbuhan berkelanjutan, menyeimbangkan ekologi dengan ekonomi.
Namun kenyataannya, kekayaan ini masih banyak yang belum tersentuh. Promosi daerah harusnya bisa lebih nendang, sehingga potensi yang melimpah ruah berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun daya saing daerah. Kita agaknya sangat mahir bercerita potensi, terus menerus mengisahkan berlian tetapi belum terasah.
Tantangan Nyata di Depan Mata
Kuningan masih menyimpan pekerjaan rumah yang tak ringan. Kemiskinan memang perlahan menurun, tetapi relatif masih tinggi dibanding tetangga lain di Jawa Barat—tanda bahwa pembangunan belum sungguh menyentuh lapisan terbawah. Keterbatasan fiskal daerah juga jadi persoalan lainnya. Pendapatan Asli Daerah hanya menutup sebagian kecil kebutuhan, selebihnya bergantung pada transfer pusat. Dengan ruang fiskal sempit, pemerintah daerah terbatas pada jebakan rutinitas, bukan inovasi yang sistemik mendorong kemajuan.
Di sisi lain, angka pengangguran Kuningan masih relatif tinggi di Jawa Barat. Tenaga kerja muda kita seringkali memilih merantau karena lapangan kerja di kampung halaman terbatas. Perlu upaya untuk membuka dan memutarkan roda ekonomi yang memberi nilai tambah signifikan. Tanpa strategi serius mengembangkan keterampilan, industri kreatif, dan UMKM, kekuatan ini bisa berubah menjadi beban sosial.
Tantangan ekologis pun tidak bisa diabaikan. Gunung Ciremai dan kawasan hutan yang menjadi penopang air serta pariwisata menghadapi ancaman degradasi dan alih fungsi lahan. Jika dibiarkan, Kuningan bukan hanya kehilangan identitasnya sebagai kabupaten hijau, tapi juga kehilangan modal utama untuk melesat. Karena itu, masalah pembangunan ini harus diperlakukan sebagai simpul strategis yang wajib ditangani, bukan sekadar daftar keluhan tahunan.
Permata di Rebana: Harapan yang Menunggu Digenggam
Kuningan hari ini tidak bisa lagi memandang dirinya sebagai satu titik yang berdiri sendiri. Ia kini bagian dari Kawasan Rebana, aglomerasi perkotaan yang dirancang sebagai koridor pertumbuhan ekonomi masa depan Jawa Barat. Dalam kerangka ini, Kuningan harus membuka pandangan lebih luas, menempatkan dirinya sebagai simpul penting yang memberi warna berbeda di tengah dominasi industri pantura.
Arah pembangunan Kuningan patut diapresiasi. Ia tidak tergesa-gesa mengikuti arus industrialisasi manufaktur, melainkan teguh menjaga jati dirinya sebagai daerah penyangga lingkungan, pertanian, dan pariwisata. Dengan atap tertinggi Jawa Barat—Gunung Ciremai—sebagai modal simbolik sekaligus ekologis, Kuningan berpeluang memainkan peran mirip Fujikawaguchiko di Jepang, kota kecil yang memanfaatkan panorama Gunung Fuji hanya 90 menit dari Haneda Airport. Kini Kuningan pun berada pada posisi serupa, hanya satu jam dari Bandara Kertajati. Perbandingan ini bukan berlebihan, melainkan gambaran bahwa posisi geografis dan aksesibilitas bisa menjadi senjata promosi.
Yang dibutuhkan Kuningan adalah keberanian mengklaim keberadaan infrastruktur strategis di Rebana sebagai penguat citra wilayah. Tinggal fokus pada sektor yang menjadi unggulan: pertanian modern dengan produktivitas lebih tinggi, pariwisata berbasis lingkungan yang menekankan high value low impact tourism, serta komitmen menjaga fungsi penyedia jasa lingkungan.
Peluang besar ini harus digarap secara serius untuk benar-benar meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kuningan tidak cukup hanya mengandalkan kerja birokrasi internal; ia harus mampu menangkap peluang kolaborasi dengan aktor-aktor pembangunan di luar, mulai dari dunia usaha, perguruan tinggi, komunitas kreatif, investor yang sejalan dengan visi keberlanjutan, serta menjajaki kemitraan dengan koridor global dengan karakter serupa. Dengan cara itu, Kuningan bisa tampil bukan sekadar sebagai bagian dari aglomerasi Rebana, melainkan sebagai permata yang memberi keseimbangan dan berkelanjutan.
Refleksi di Tengah Riuh, Membuka Jalan Melesat Bersama
Bertepatan dengan hari jadi Kuningan, kondisi Indonesia hari-hari ini sedang riuh. Protes dan demonstrasi merebak di berbagai kota adalah alarm keras. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan adalah fondasi dasar pembangunan yang tidak bisa diganggu gugat dan hasil pembangunan yang jauh dari aspirasi warga hanya akan melahirkan gejolak.
Kuningan tentu tidak berdiri di ruang hampa. Riuh nasional harus jadi cermin: jangan sampai pemerintah daerah terjebak dalam rutinitas tanpa hasil pembangunan yang nyara dirisakan dan sesuai denyut warganya sendiri. Momentum hari jadi ke-527, yang hadir bersamaan dengan semangat pemerintahan baru di tahun pertamanya, harus melecut energi untuk melangkah lebih cepat dan lebih bijak.
Itulah sebabnya birokrasi professional menjadi kunci, bukan sekadar administratif tapi mampu menggerakan secara kolektif. Pembangunan tidak cukup hanya dihitung dari keluaran program, melainkan dari sejauh mana ia menghadirkan rasa adil, menumbuhkan kesejahteraan, dan menguatkan harapan warga.
Dalam falsafah Sunda ada ungkapan sareundeuk saigel sabobot sapihanean. Itulah kunci pembangunan. Hanya dengan kebersamaan itulah Kuningan bisa benar-benar melesat. Hari jadi ke-527 yang dirayakan di tengah kesederhanaan ini harusnya menjadi momen yang lebih reflektif. Bila dijadikan momentum untuk menata ulang arah pembangunan, Kuningan akan dikenang dua kali: sekali karena memberi ruang bagi republik lahir, dan sekali lagi karena berani menjemput masa depan dengan gagah berani.
Oleh: Muhammad Rafialdy Janitra
Praktisi Perencanaan Pembangunan