Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Spoiler, sebelum membuat catatan ini saya mengunggah beberapa status di Facebook sedikit mengulas survei yang dilakukan oleh Jamparing Research (selanjutnay disebut JR) tentang kepuasan masyarakat atas 100 hari kerja Bupati-Wakil Bupati Kuningan.
Status facebook tersebut memunculkan beragam respons. Sebagian netizen bersetuju dengan arah status tersebut yang mengkritisi hasil survei JR. Sebagian lainnya lebih jauh mencurigai independensi survei tersebut, dan ada pula yang mengkritik status tersebut dengan mengatakan bahwa JR adalah lembaga survei yang legal dan mengungkapkan hasil penelitiannya berdasarkan data dan fakta, lalu mengajak penulis untuk mengapresiasi dan bersikap positif terhadap hasil survei tersebut. Atau, jika tidak puas dengan hasil survei JR, silakan melakukan survei lain sebagai penyeimbang.
Karenanya, perlu saya kemukakan di awal bahwa catatan kritis ini bukan untuk menafikan hasil kerja keras survei JR. Mudah-mudahan catatan ini memberikan kontribusi akademis dan memicu dialog lebih lanjut tentang penelitian dan survei sehingga kelak di Kuningan muncul lembaga-lembaga survei lain yang maju dan independence.
Pertama, penting dicatat, judul survei ini adalah “Survei Kepuasan Masyarakat atas 100 Hari Kerja Bupati-Wakil Bupati Kuningan Masa Jabatan 2018-2023”. Dengan demikian, objek survei ini semestinya dibatasi secara khusus sesuai dengan ketentuan waktu yang disebutkan dalam judul, yakni 100 hari setelah pelantikan pasangan bupati dan wakil bupati Kuningan.
Jika hari ke-1 adalah hari pelantikan maka hari ke-100 adalah tanggal 13 Maret 2019. Semua program, kegiatan, dan proyek yang dilakukan sebelum tanggal tersebut tidak sepatutnya dimasukkan sebagai objek survei. Pemilahan dan penetapan batas ini harus dilakukan dalam penelitian awal sebelum pelaksanaan survei. Penelitian awal diperlukan untuk menetapkan batasan objek penelitian, karena, sekali lagi, batasannya jelas: hanya 100 hari. Penelitian awal ini juga diperlukan untuk menentukan teknik sampling yang akan digunakan, jumplah sampel, dan sebaran populasinya. Penetapan teknik sampling akan sangat berpengaruh terhadap kualitas survei.
Jika melihat dari hasil survei JR, sepertinya tim JR tidak melakukan penelitian awal sebelum melakukan survei. Sebagaimana diungkapkan dalam pers rilisnya, JR mengungkapkan bahwa mereka menggunakan purposive random sampling sebagai metode penarikan data.
Sebagaimana diketahui dari namanya, purposive random sampling bukanlah sampel acak (random), melainkan sampel yang terarah. Dalam bahasa sederhana, metode itu berarti penetapan sampel penelitian dilakukan sesuai dengan pilihan peneliti. Peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian.
Saya berpendapat, metode tersebut tidak cocok digunakan untuk mengukur kepuasan masyarakat pada sebuah populasi yang sangat luas dan cakupan kuisioner yang sangat beragam. Metode PRS tidak memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk menjadi bagian dari survei. Hanya golongan atau kelompok tertentu yang punya peluang untuk menjadi bagian dari survei ini.
Kelompok yang “punya peluang” itu ditetapkan oleh peneliti yang, sayangnya, dalam pers rilis kemarin tidak memaparkan kriteria penetapan populasi sampel yang mereka pilih, seperti kriteria umur, agama, domisili, pendidikan, pendapatan, dan seterusnya. JR juga tidak menjelaskan alasan pemilihan dan penetapan sampel populasi dalam penelitian mereka.
Bisa jadi, karena masalah itulah sehingga hasil survei tersebut memicu kontroversi.
Memang, sebagaimana hasil survei lainnya, bahkan yang dilakukan oleh lembaga survei yang telah mapan di negeri ini, hasil survei tidak lepas dari kontroversi. Namun, setidaknya sejak awal masing-masing lembaga survei menjelaskan alasan pemilihan teknik atau metode sampling, juga kriteria dan kategori sampel yang dipilih (ditarik). Dan sejatinya, metode penarikan sampel jenis ini tidak banyak dipilih oleh lembaga survei karena berbiaya mahal.
Sebenarnya, penelitian ini akan lebih menarik jika JR menggunakan simple random sampling atau multistage random sampling. Sampel acak sederhana memberi peluang dan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk menjadi bagian dari survei. Kesamaan peluang itu dibutuhkan karena survei ini meliputi “masyarakat Kab. Kuningan” bukan hanya sekelompok atau sebagian daerah atau sebagain profesi atau sebagian penganut agama, dan seterusnya.
Karena Jamparing Research (selanjutnya dibaca JR) menggunakan purposive random sampling, JR menentukan sepenuhnya siapa saja atau dari mana saja responden yang menjadi sampel penelitian mereka. Pada gilirannya, hal ini akan memunculkan praduga bahwa sampel yang diambil adalah yang “diduga” akan memberikan jawaban sesuai dengan “hasil” yang telah ditetapkan lebih dulu oleh peneliti.
Pada bagian kedua tulisan ini saya akan mengulas lebih lanjut hasil survei yang dilakukan oleh JR. Namun, sebelum itu, penting saya sampaikan bahwa sebenarnya untuk mengukur efektifitas 100 kinerja pasangan bupati dan wakil bupati bisa dilakukan dengan mudah. Tidak perlu menganalisis berbagai dimensi kehidupan yang meliputi ekonomi, sosial, agama, pendidikan, kesehatan, yang bisa menimbulkan bias penelitian. Tanpa penelitian awal, peneliti akan kesulitan memilah mana bagian yang bukan kerja Acep-Ridho dan mana bagian yang memang hasil kerja Acep-Ridho.
Untuk menganalisis efektifitas 100 hari kinerja Acep-Ridho, kita bisa melihat program unggulan yang didengungkan oleh pasangan ini saat kampanye Pilbup. Adakah diantara program-program tersebut yang ditunaikan dan digarap secara efektif dan efisien.
Sebagai gambaran, berikut ini enam program unggulan pasangan Acep-Ridho. Pertama, percepatan rehabilitasi dan asesibilitas pendidikan. Di antaranya rehabilitasi 1000 ruang kelas baru, pembangunan 300 ruang kelas baru, pembangunan 100 ruang perpustakaan, dan pemberian beasiswa untuk 1000 orang. Jika semua program unggulan itu dilakukan selama 5 tahun maka dalam seratus hari pasangan ini mestinya sudah membuat minimal 30 ruang kelas baru, minimal 3 ruang perpustakaan baru, dan seterusnya.
Begitu juga dalam bidang percepatan pembangunan desa, khususnya sektor pertanian dan pariwisata. Jalan mana saja yang sudah diperbaiki, dan jalan baru mana saja yang sudah dibangun? Juga, berapa desa pinunjul yang telah dipilih dan ditetapkan oleh pemerintah kabupaten?
Jadi, sederhana saja, jika jalan masih banyak yang rusak, tidak ada pembangunan jalan baru, ruang kelas baru, perpustakaan, tidak ada penetapan desa pinunjul, dan seterusnya maka sangat absurd jika ada yang menyatakan puas atas kinerja keduanya.
Program unggulan berikutnya adalah percepatan pembangunan desa, khususnya sektor pertanian dan pariwisata, melalui pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, jaringan irigasi, 25 desa wisata dan 100 desa pinunjul. Kemudian, peningkatan produktifitas dan lapangan kerja, pengembangan karakter berbangsa bernegara serta keluhuran nilai-nilai agama.
Program kelima, peningkatan layanan kesehatan, khususnya bagi ibu dan anak, manula, dan penyandang disabilitas. Dan program unggulan terakhir, peningkatan mutu pelayanan dan transparansi pemerintahan melalui sistem informasi terpadu.
Silakan Anda sendiri menilai, adakah di antara program-program unggulan tersebut yang telah dijalankan dan ditunaikan oleh pasangan Bupati dan Wakil Bupati.***
Penulis: Dedi Ahimsa (Pengurus ICMI Orda Kuningan)