KUNINGAN (MASS) – Program 100 hari kerja kepala daerah pada dasarnya adalah ruang simbolik, bukan kewajiban normatif. Ia menjadi ajang ekspektasi dan impresi, bukan ukuran substansi pemerintahan. Namun, yang mengejutkan dan mengusik akal sehat publik adalah saat ruang penilaian publik seperti “Polling kepuasan 100 Hari Kerja Bupati&Wakil Bupati” Yang diadakan justru dipenuhi oleh komentar ASN dan akun resmi dinas yang tersa melebihkan pujian,seolah tengah terjadi kontestasi loyalitas dalam bentuk yang terang-terangan.atau mungkin kejadian komentar-komentar ASN dan lembaga pemerintah yang jelas melanggar Etik dalam lensa kekuasan bagian dari keberhasilan kuningan melesat?
Dalam sistem demokrasi, birokrasi sejatinya menjadi mesin rasional yang beroperasi atas dasar kepentingan publik, bukan menjadi alat propaganda kekuasaan. Namun yang kita saksikan di Kuningan justru sebaliknya: gelombang komentar dari aparatur negara dalam ruang opini politik yang semestinya dimiliki masyarakat sipil. Ini bukan hanya anomali, tapi juga gejala deviasi dari nilai dasar aparatur sipil negara itu sendiri.
Netralitas ASN bukan sekadar larangan untuk tidak ikut kampanye, melainkan prinsip mendasar bahwa aparatur negara harus bebas dari intervensi, pengaruh, dan konflik kepentingan. Ketika akun resmi instansi dikerahkan untuk memuji kepala daerah dalam ruang interaksi publik, maka netralitas telah direduksi menjadi formalitas belaka.
Ini bukan semata soal melenceng dari pasal 9 ayat 2 UU ASN, tetapi menyentuh sesuatu yang lebih dalam: kebutuhan kekuasaan akan validasi yang tak sehat, dan birokrasi yang makin kehilangan imunitas terhadap tekanan politik simbolik. Yang lebih mencemaskan, dalam pusaran ini, ASN kehilangan objektivitasnya dan justru berubah fungsi menjadi buzzer halus atas nama loyalitas struktural.
Apakah kita sedang menyaksikan birokrasi yang tidak mampu membedakan pujian tulus dari kalkulasi aman? Apakah kultur “asal bapak senang” telah menenggelamkan logika pelayanan publik? Dalam ruang abu-abu antara aturan dan kenyataan, birokrasi kita mengalami kebuntuan etik: aturan tentang netralitas ada, tapi ia tidak mampu mencegah loyalitas yang menyaru sebagai partisipasi.
Kita berada dalam sistem yang dirancang untuk menjamin netralitas, namun gagal mengantisipasi jebakan formalitas: bahwa bisa saja seseorang tidak melanggar aturan secara eksplisit, tapi tetap menyimpang secara etis dan substansial. Di sinilah birokrasi kita tampak “benar tapi tidak netral”, atau “netral tapi tidak independen”. Dan itu adalah ironi terbesar dalam wajah pelayanan publik hari ini.
Sudah saatnya kita menegaskan kembali batas antara birokrasi dan politik. ASN tidak boleh menjadi instrumen pembenaran kekuasaan. Mereka adalah pelayan publik, bukan pemuja jabatan. Jika program 100 hari ingin sukses, biarlah rakyat yang menilai secara bebas tanpa dikaburkan oleh hiruk-pikuk komentar yang didesain untuk menyenangkan atasan.
Netralitas bukan sekadar larangan, tapi identitas. Jika ASN kehilangan itu, maka yang tersisa hanyalah barisan pegawai yang bekerja bukan karena nilai, tapi karena arah angin.
Pertanyaannya kini adalah: apakah keterlibatan ASN dalam menilai 100 hari kerja kepala daerah merupakan bagian dari prestasi, atau justru cermin kegagalan membedakan ruang kuasa dan ruang pelayanan?
Fenomena seperti ini semestinya tidak dirayakan sebagai capaian, tetapi dicatat sebagai pekerjaan rumah mendesak: membangun ulang kesadaran etis birokrasi, menyusun ulang ulang sistem kontrol internal, dan yang terpenting, menanamkan kembali bahwa kekuasaan publik tidak boleh dibalut dengan pujian palsu, apalagi dari mereka yang seharusnya netral.
Sistem bisa saja dibangun untuk menjamin keadilan dan netralitas, tetapi selalu ada ruang dalam sistem itu sendiri yang tidak mampu membuktikan kebenarannya. Dan ruang inilah yang kini ditempati oleh para ASN yang berdiri di persimpangan antara tanggung jawab dan tekanan politik. Jika kita terus membiarkannya, maka birokrasi akan terus berjalan seperti mesin kosong: taat struktur, tapi lumpuh makna.
Oleh : M. Agung Tri Sutrisno, SH. (Masyarakat Kuningan)